Ketegangan dalam hubungan dagang antar negara sering kali memunculkan kebijakan balasan yang dikenal sebagai resiprokal.
Istilah tersebut kembali mencuat seiring meningkatnya praktik proteksionisme yang dilakukan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang menaikkan tarif impor terhadap sejumlah negara baru-baru ini.

Foto: Infografis/ Tarif Dagang Trump/ Edward Ricardo Sianturi ( CNBC )
Namun, beberapa negara dikenai tarif jauh lebih tinggi, bahkan mencapai 104%. Trump menyebut tarif tinggi yang diterapkan terhadap negara-negara seperti China, Vietnam, dan Kamboja sebagai “tarif resiprokal”. Apa sebenarnya maksud dari istilah tersebut?
Apa Tarif Resiprokal ?
Tarif timbal balik atau resiprokal adalah pajak atau pembatasan perdagangan yang dikenakan oleh suatu negara terhadap negara lain sebagai respons terhadap tindakan serupa yang dilakukan oleh negara tersebut.
Tujuan utama dari tarif timbal balik adalah untuk menciptakan keseimbangan dalam perdagangan antarnegara.
Baca Juga : https://investhink.id/bikin-pasar-saham-naik-turun-apa-sebenarnya-perang-dagang-itu/
Tarif yang tinggi ini bisa memicu tarif balasan yang lebih tinggi dari negara yang bersangkutan. Banyak negara biasanya akan berunding demi mencapai kesepakatan dagang agar tarif bisa diperkecil.
Jika tidak tarif balasan atau resiprokal biasanya akan diberikan. Saling perang tarif terakhir yang paling ramai adalah pada 2018-2019 di mana China dan AS menjadi tokoh sentral di dalamnya.
Meski disebut “tarif resiprokal”, penerapannya ternyata tidak sepenuhnya mencerminkan prinsip timbal balik. Beberapa negara dikenakan tarif tinggi berdasarkan besarnya defisit perdagangan AS dengan negara tersebut, bukan karena tarif atau hambatan yang negara tersebut terapkan pada AS.
Sebagai contoh, produk dari Vietnam dikenakan tarif 46%, Kamboja 49%, dan Uni Eropa 20%. Sementara itu, hampir semua produk dari China sekarang dikenai tarif sebesar 104% setelah China menolak menurunkan tarif balasannya kepada AS.