Dalam dunia investasi, keputusan yang diambil seharusnya didasarkan pada data, analisis, dan pertimbangan rasional. Namun pada kenyataannya, banyak investor – baik pemula maupun berpengalaman – sering kali terjebak dalam kesalahan berpikir atau logical fallacy.
Logical fallacy adalah pola berpikir yang tampak logis tapi sebenarnya menyesatkan. Jika tidak disadari, kesalahan logika ini bisa berdampak buruk pada keputusan investasi dan bahkan menyebabkan kerugian finansial yang besar.

Ilustrasi gambar dari istock
Adakalanya kita ingin memenangkan perdebatan dengan telak dan tanpa disadari telah mengatakan hal-hal yang personal tentang lawan. Dalam berinvestasi juga, kita merasa apa yang kita pilih adalah yang paling benar, hingga dalam situasi yang terbalik, kita tetap merasa membenarkan pilihan tersebut walaupun kenyataannya salah.
Berikut ini beberapa jenis logical fallacy yang paling sering terjadi dalam aktivitas berinvestasi:
1. Gambler’s Fallacy (Kekeliruan Penjudi)
Investor menganggap bahwa setelah sebuah aset turun selama beberapa waktu, maka “sudah waktunya” naik kembali.
Contoh:
“Saham ini sudah turun terus selama seminggu. Besok pasti naik.”
→ Padahal, pergerakan harga saham tidak bergantung pada tren masa lalu, melainkan pada kondisi pasar dan faktor fundamental.
2. Sunk Cost Fallacy (Kesalahan Biaya Hangus)
Ketika seseorang tetap mempertahankan investasinya karena merasa sudah terlanjur rugi, padahal seharusnya investasi tersebut dihentikan.
Contoh:
“Saya sudah rugi 10 juta, kalau saya jual sekarang berarti rugi beneran.”
→ Padahal, mempertahankan investasi buruk hanya karena sudah rugi malah bisa memperbesar kerugian.
3. Herd Mentality (Ikut-ikutan Mayoritas)
Banyak investor terbawa arus dan melakukan apa yang orang lain lakukan tanpa riset atau analisis sendiri.
Contoh:
“Banyak yang beli saham ini, pasti bagus!”
→ Padahal, popularitas tidak selalu berarti kualitas. Tren pasar bisa berubah cepat.
4. Confirmation Bias (Bias Konfirmasi)
Mencari informasi yang hanya mendukung keyakinan pribadi, dan mengabaikan informasi yang bertentangan.
Contoh:
“Menurut saya saham ini bagus, jadi saya hanya baca artikel yang mendukung.”
→ Ini bisa membuat penilaian menjadi tidak objektif dan menutup mata terhadap risiko yang nyata.
5. Overconfidence Bias (Terlalu Percaya Diri)
Merasa yakin bahwa keputusan yang diambil pasti benar, sering kali karena pengalaman untung sebelumnya.
Contoh:
“Saya pernah untung besar di saham ini, saya yakin akan terulang.”
→ Pasar bersifat dinamis, dan keberhasilan masa lalu tidak menjamin keberhasilan masa depan.
6. Recency Bias (Bias Kejadian Terbaru)
Menganggap bahwa kejadian yang baru terjadi akan terus berlangsung di masa depan.
Contoh:
“Dalam 2 minggu ini harga terus naik, pasti masih akan naik.”
→ Keputusan investasi tidak boleh hanya berdasarkan tren jangka pendek, karena bisa menyesatkan.
7. Anchoring Bias (Bias Patokan)
Mengandalkan harga atau data awal sebagai patokan tetap, meskipun sudah tidak relevan.
Contoh:
“Saham ini dulu pernah 20.000, sekarang 10.000 berarti murah.”
→ Harga murah harus dibandingkan dengan kondisi fundamental saat ini, bukan sekadar masa lalu.
Kesimpulan
Logical fallacy dalam investasi bisa menggiring investor pada keputusan yang tidak logis, bahkan merugikan.
Menyadari adanya kesalahan berpikir ini adalah langkah awal untuk menjadi investor yang lebih bijak dan rasional. Alih-alih mengikuti emosi atau asumsi yang menyesatkan, penting untuk selalu kembali ke data, riset, dan logika yang sehat.
Dengan menghindari fallacy dalam berpikir, kamu bisa mengambil keputusan investasi yang lebih matang dan terukur — dan itu adalah kunci utama menuju kesuksesan finansial jangka panjang.