Dampak Free Float 30%: Niat Baik yang Bisa Jadi Bumerang?

Belakangan ini, DPR dan OJK lagi rame banget ngomongin aturan baru: semua perusahaan yang udah listing di bursa harus punya free float minimal 30%. Buat yang belum ngeh, free float itu gampangnya bagian saham yang bisa bebas diperdagangkan publik di pasar.

Jadi kalau free float-nya kecil, artinya saham itu kebanyakan masih dipegang oleh pemilik utamanya, dan yang beredar di pasar cuma sedikit.

Shareholder atau pemegang saham punya peran penting disebuah perusahaan.

 

Sekilas sih, idenya keren. Dengan free float yang lebih besar, likuiditas saham bisa naik, transaksi jadi rame, harga saham lebih fair, dan nggak gampang digoreng sama pemain besar. Investor asing juga biasanya suka saham yang likuid, jadi aturan ini bisa bikin pasar modal Indonesia makin seksi di mata dunia.

Tapi, jangan buru-buru tepuk tangan dulu. Kalau aturan ini dipaksain tanpa transisi yang smooth, bisa bikin banyak emiten kelimpungan. Bayangin aja, perusahaan yang masih dikuasai keluarga atau BUMN harus tiba-tiba jual 30% sahamnya ke publik. Tekanan jual bisa gede banget, dan harga saham bisa jeblok gara-gara banyak yang lepas bareng-bareng. Pasar bisa goyang, investor panik, dan malah bikin chaos.

Baca juga : https://investhink.id/2025-bak-hujan-uang-ihsg-bitcoin-dan-emas-cetak-rekor/

Belum lagi, buat perusahaan kecil, nambah free float sampai 30% bisa berarti kehilangan kendali. Mereka bisa takut keputusan di RUPS jadi susah diatur, atau muncul investor baru yang terlalu vokal. Kalau timing-nya lagi nggak pas — misal harga saham lagi lesu — mereka malah rugi karena harus jual di harga murah.

Intinya, niat OJK dan DPR ini sebenernya bagus, tapi eksekusinya harus hati-hati banget. Kalau mau diterapin, kasih waktu yang cukup dan mungkin insentif buat perusahaan biar bisa adaptasi pelan-pelan. Karena di dunia saham, niat baik doang nggak cukup — kalau timing-nya salah, hasilnya bisa berantakan. Jadi ya, semoga kebijakan ini bukan cuma keren di atas kertas, tapi juga realistis buat diterapin di dunia nyata.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram

 

Penulis : Orryza Sativa

Baca Juga :

Dampak Free Float 30%: Niat Baik yang Bisa Jadi Bumerang?

Belakangan ini, DPR dan OJK lagi rame banget ngomongin aturan baru: semua perusahaan yang udah listing di bursa harus punya free float minimal 30%. Buat yang belum ngeh, free float itu gampangnya bagian saham yang bisa bebas diperdagangkan publik di pasar.

Jadi kalau free float-nya kecil, artinya saham itu kebanyakan masih dipegang oleh pemilik utamanya, dan yang beredar di pasar cuma sedikit.

Shareholder atau pemegang saham punya peran penting disebuah perusahaan.

 

Sekilas sih, idenya keren. Dengan free float yang lebih besar, likuiditas saham bisa naik, transaksi jadi rame, harga saham lebih fair, dan nggak gampang digoreng sama pemain besar. Investor asing juga biasanya suka saham yang likuid, jadi aturan ini bisa bikin pasar modal Indonesia makin seksi di mata dunia.

Tapi, jangan buru-buru tepuk tangan dulu. Kalau aturan ini dipaksain tanpa transisi yang smooth, bisa bikin banyak emiten kelimpungan. Bayangin aja, perusahaan yang masih dikuasai keluarga atau BUMN harus tiba-tiba jual 30% sahamnya ke publik. Tekanan jual bisa gede banget, dan harga saham bisa jeblok gara-gara banyak yang lepas bareng-bareng. Pasar bisa goyang, investor panik, dan malah bikin chaos.

Baca juga : https://investhink.id/2025-bak-hujan-uang-ihsg-bitcoin-dan-emas-cetak-rekor/

Belum lagi, buat perusahaan kecil, nambah free float sampai 30% bisa berarti kehilangan kendali. Mereka bisa takut keputusan di RUPS jadi susah diatur, atau muncul investor baru yang terlalu vokal. Kalau timing-nya lagi nggak pas — misal harga saham lagi lesu — mereka malah rugi karena harus jual di harga murah.

Intinya, niat OJK dan DPR ini sebenernya bagus, tapi eksekusinya harus hati-hati banget. Kalau mau diterapin, kasih waktu yang cukup dan mungkin insentif buat perusahaan biar bisa adaptasi pelan-pelan. Karena di dunia saham, niat baik doang nggak cukup — kalau timing-nya salah, hasilnya bisa berantakan. Jadi ya, semoga kebijakan ini bukan cuma keren di atas kertas, tapi juga realistis buat diterapin di dunia nyata.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram

 

Penulis : Orryza Sativa

Scroll to Top