Author name: Tim Edukator

Artikel, Investasi, Saham

Anchoring Effect dalam Investasi Saham: Ketika Angka Pertama Menentukan Segalanya

Pernahkah kamu melihat sebuah iklan di marketplace yang mengklaim bahwa harga asli sebuah produk adalah Rp300.000, namun sedang diskon 70% hingga tinggal Rp70.000? Sekilas, angka ini terdengar sangat menggiurkan. Banyak orang langsung berpikir, “Wah, murah banget!”—semata-mata karena mereka membandingkan harga diskon dengan angka awal yang ditampilkan, yaitu Rp300.000. Namun, mari kita pikir ulang. Apakah benar harga asli produk itu memang Rp300.000? Bisa jadi tidak. Mungkin saja nilai riilnya sejak awal memang hanya sekitar Rp70.000 atau bahkan lebih murah. Harga awal yang ditampilkan hanya berfungsi sebagai “jangkar” atau anchor untuk memengaruhi persepsi kita terhadap nilai dan diskon. Baca juga : https://investhink.id/kenapa-psikologi-penting-dalam-keputusan-investasi/ Inilah yang disebut dengan anchoring effect dalam psikologi. Fenomena ini terjadi ketika seseorang terlalu terpaku pada informasi pertama yang diterimanya—dalam kasus ini, harga Rp300.000—dan menggunakan angka itu sebagai tolak ukur dalam mengambil keputusan, walaupun informasi tersebut belum tentu akurat. Anchoring effect terjadi ketika seseorang menetapkan suatu angka awal sebagai “jangkar” dan menjadikannya dasar dalam menilai situasi, meskipun informasi tersebut mungkin sudah tidak relevan. Dalam konteks saham, angka jangkar bisa berupa harga beli awal, harga tertinggi sepanjang masa, atau target harga dari analis. Akibatnya, keputusan investasi sering kali tidak lagi logis, melainkan emosional. Contohnya, seorang investor membeli saham di harga Rp5.000 dan saat ini harga turun ke Rp3.500. Alih-alih mengevaluasi ulang kondisi perusahaan, ia enggan menjual karena masih berharap harga kembali ke Rp5.000. Harga beli awal menjadi jangkar yang menghambat pengambilan keputusan yang seharusnya berdasarkan kondisi terbaru. Contoh lain, ketika sebuah saham pernah menyentuh Rp10.000, investor cenderung menganggap harga saat ini yang Rp7.000 adalah murah, tanpa mempertimbangkan alasan mengapa harga turun. Efek jangkar juga sering muncul saat investor terlalu percaya pada rekomendasi analis yang menyebutkan target harga tertentu. Meskipun situasi pasar dan kondisi perusahaan telah berubah, angka yang disebut analis tetap melekat kuat di benak investor sebagai acuan utama, padahal seharusnya target itu bersifat fleksibel dan dinamis. Bahaya dari anchoring effect adalah ia bisa menimbulkan bias yang membuat investor tidak objektif. Investor bisa terjebak dalam penyesalan karena enggan cut loss, atau menolak peluang lain karena masih berharap saham tertentu kembali ke harga jangkar. Akhirnya, hal ini bisa mengganggu performa portofolio secara keseluruhan. Untuk menghindari jebakan ini, penting bagi investor untuk terus memperbarui informasi dan mengevaluasi kondisi saham secara menyeluruh. Gunakan rencana investasi yang matang, bukan sekadar berdasarkan angka historis. Diversifikasi portofolio juga bisa membantu meredam ketergantungan emosional terhadap satu saham. Dan yang paling penting, tingkatkan kesadaran diri bahwa bias seperti anchoring adalah hal yang sangat manusiawi—dan bisa diatasi dengan latihan dan kedisiplinan.

Investasi, Saham

Pasar Sedang Bullish tapi Portofoliomu Malah Bearish

Pasar sedang naik, banyak orang cerita soal cuan, portofolio mereka hijau semua, bahkan ada yang untung besar dalam waktu singkat. Tapi saat kamu buka portofoliomu sendiri, malah merah. Padahal kondisi pasar katanya lagi “bullish”. Lalu muncul pertanyaan yang bikin penasaran — kenapa portofolioku malah turun, ada yang salah nggak ya? Salah satu penyebab utamanya bisa jadi karena kamu salah memilih aset. Banyak orang membeli saham atau koin kripto hanya karena sedang tren di media sosial atau karena takut ketinggalan momen (FOMO), tanpa benar-benar tahu isi dan potensi aset tersebut. Akibatnya, ketika pasar secara umum naik, aset yang kamu pegang justru jalan di tempat atau malah turun karena tidak sekuat yang dipikirkan. Baca juga : https://investhink.id/ekspektasi-adalah-kunci-dalam-investasi-saham/ Selain itu, bisa jadi portofoliomu kurang seimbang alias tidak terdiversifikasi dengan baik. Misalnya, semua danamu hanya kamu taruh di satu sektor saja, seperti teknologi atau aset kripto. Padahal, dalam pasar yang bullish pun tidak semua sektor ikut naik bersamaan. Bisa jadi sektor lain justru sedang terkoreksi. Kalau semua telur kamu taruh di satu keranjang dan keranjang itu jatuh, ya semuanya ikut hancur. Hal lain yang sering terjadi adalah salah waktu masuk. Meskipun pasar sedang naik, kalau kamu membeli di harga puncak lalu pasar sedikit koreksi, maka posisimu langsung rugi. Banyak orang yang terburu-buru beli karena takut ketinggalan tren, padahal belum tentu itu momen yang tepat. Di saat seperti ini, strategi beli bertahap atau analisis teknikal dasar sangat membantu. Kesalahan lainnya adalah tidak rajin mengevaluasi isi portofolio. Pasar terus berubah, tapi banyak investor tidak menyesuaikan aset yang mereka pegang. Mungkin dulu aset itu bagus, tapi sekarang sudah tidak relevan lagi. Kalau kamu biarkan begitu saja tanpa dicek, lama-lama portofoliomu akan tertinggal dibanding pasar. Terakhir, bisa jadi kamu mengira sudah punya portofolio yang beragam, padahal sebenarnya aset-asetmu punya pergerakan yang mirip. Misalnya, kamu punya lima saham, tapi semuanya dari sektor yang sama dan sangat terpengaruh oleh faktor makro yang sama. Saat satu turun, yang lain juga ikut jatuh. Jadi, penting untuk memahami hubungan (korelasi) antar aset supaya satu aset tidak menyeret semuanya ketika pasar berubah. Kesimpulannya, meskipun pasar sedang naik, bukan berarti semua orang otomatis untung. Kalau portofoliomu masih merah, mungkin saatnya untuk mengevaluasi strategi. Mulailah dari memahami apa yang kamu beli, pastikan asetmu tidak semua di tempat yang sama, dan rajinlah melakukan review secara berkala. Karena dalam investasi, bukan soal siapa yang mulai duluan, tapi siapa yang siap dan paham arah tujuannya.

Artikel, Psikologi, Saham

Ekspektasi Adalah Kunci dalam Investasi Saham

Menjadi trader berarti anda berpotensi mengalami sebuah kerugian dan pengambilan keputusan yang salah. Kedua pengalaman ini tidak akan terhindarkan, tidak peduli seberapa pintar kita atau seberapa hebat analisis kita pasti semua akan mengalaminya. Tidak ada apa pun di pasar yang akan mencegah kita mengalami kerugian. Pasar terlalu acak dan penuh dengan ketidakpastian untuk diprediksi. Ada terlalu banyak variabel yang harus dipertimbangkan yang dapat mempengaruhi pasar. Kerugian dalam trading bukan sekadar hilangnya uang, melainkan benturan antara kenyataan dan ekspektasi. Banyak trader merasa terpukul saat rugi bukan karena nominalnya, tetapi karena pasar tidak berjalan sesuai harapan mereka. Ekspektasi ini sering kali terbentuk dari keyakinan bahwa analisis mereka pasti benar, dan pasar seharusnya mengikuti prediksi tersebut. Padahal, pasar bergerak bebas, tanpa peduli pada harapan siapa pun. Baca juga : https://investhink.id/kenapa-psikologi-penting-dalam-keputusan-investasi/ Ambil contoh dua trader fiktif: Rama dan Dian. Rama adalah trader berpengalaman yang tahu bahwa kerugian adalah bagian dari permainan. Ia selalu mengantisipasi kemungkinan rugi sebelum masuk posisi, sehingga ketika itu terjadi, ia tidak panik dan bisa langsung fokus ke peluang berikutnya. Sebaliknya, Dian adalah pemula yang percaya bahwa setiap posisi yang ia ambil pasti untung. Ketika mengalami kerugian, ia kecewa, marah, bahkan menyalahkan pasar. Ekspektasi yang tidak realistis seperti yang dimiliki Dian membuat kerugian terasa menyakitkan. Ini seperti anak kecil yang dijanjikan mainan, tapi kemudian tidak jadi dibelikan—kekecewaannya besar karena terlalu berharap. Dalam trading, semakin besar ekspektasi yang tidak dibarengi dengan kesiapan mental, semakin besar pula rasa frustrasi saat hasil tidak sesuai harapan. Itulah mengapa menjaga ekspektasi adalah kunci utama. Trader berpengalaman seperti Rama paham bahwa kerugian adalah hal yang wajar, dan tidak menjadikannya alasan untuk menyalahkan pasar. Mereka bertanggung jawab atas keputusan mereka sendiri, terus belajar dari kesalahan, dan tetap tenang menghadapi ketidakpastian. Di sinilah letak perbedaan antara trader pemula dan trader profesional: satu terjebak dalam ekspektasi, satu lagi tumbuh lewat penerimaan.

Artikel, Investasi, Saham

Kenapa Psikologi Penting dalam Keputusan Investasi?

Saat orang mulai belajar investasi, mereka sering berpikir bahwa yang paling penting adalah tahu cara membaca grafik, menghitung untung-rugi, atau memilih saham yang tepat. Padahal, kenyataannya banyak keputusan investasi yang dipengaruhi oleh emosi. Misalnya, ketika harga saham naik terus, orang jadi serakah dan ingin ikut-ikutan beli. Sebaliknya, saat harga turun tajam, banyak yang panik dan buru-buru jual, padahal mungkin itu bukan keputusan terbaik. Dalam dunia psikologi, ada yang disebut bias pikiran. Ini adalah kesalahan pola pikir yang tanpa sadar kita lakukan. Contohnya, kita hanya mencari berita atau pendapat yang mendukung apa yang sudah kita yakini (bias konfirmasi). Atau kita terlalu percaya diri dengan analisis kita sendiri, sehingga mengambil keputusan berani tanpa pikir panjang. Hal-hal seperti ini bisa membuat kita rugi dalam investasi. Baca juga : https://investhink.id/kenapa-8-dari-10-trader-saham-gagal-di-tahun-pertamanya/ Psikologi juga penting karena bisa membantu kita mengelola risiko. Tidak semua orang punya toleransi risiko yang sama. Ada yang bisa tenang saat harga saham turun, tapi ada juga yang langsung panik. Kalau kita tahu batas kemampuan mental kita, kita bisa lebih bijak dalam memilih jenis investasi dan tidak mudah terpengaruh saat pasar sedang goyah. Selain itu, banyak orang gagal dalam investasi bukan karena kurang pintar, tapi karena tidak disiplin. Misalnya, sudah punya rencana beli saat harga turun, tapi karena takut, jadi batal. Atau sudah niat jual saat harga naik, tapi karena serakah, malah terus ditahan dan akhirnya turun lagi. Di sinilah peran psikologi: membantu kita tetap tenang dan konsisten sesuai rencana awal. Dalam jangka panjang, investor yang sukses bukan yang paling jago analisis, tapi yang bisa mengontrol dirinya sendiri. Bisa tetap tenang saat pasar turun, tidak ikut-ikutan saat orang lain panik, dan tidak mudah terbawa emosi saat melihat peluang keuntungan besar. Semakin kita mengenal diri sendiri, semakin bijak juga kita mengambil keputusan investasi. Jadi, kalau kamu ingin jadi investor yang lebih baik, jangan cuma belajar tentang grafik atau laporan keuangan. Pahami juga bagaimana emosi dan pikiranmu bekerja. Karena pada akhirnya, keputusan terbaik dalam investasi datang dari kepala yang dingin, bukan dari perasaan yang terburu-buru.

Artikel, Investasi, Saham

Kenapa 8 dari 10 Trader Saham Gagal di Tahun Pertamanya ?

Trading saham sering dianggap sebagai cara cepat untuk mendapatkan keuntungan besar. Banyak orang yang terinspirasi dari media sosial atau cerita sukses para trader, lalu langsung terjun ke dunia pasar modal. Namun kenyataannya, sebagian besar trader pemula justru gagal di tahun pertamanya. Sekitar 8 dari 10 orang mengalami kerugian dan akhirnya menyerah. Apa penyebabnya? Pertama, minimnya pengetahuan menjadi faktor utama. Banyak pemula yang belum memahami dasar-dasar trading, seperti cara membaca grafik, mengenal indikator teknikal, hingga strategi entry dan exit yang benar. Mereka hanya membeli saham yang sedang ramai dibicarakan tanpa analisis yang kuat. Akibatnya, mereka sering terjebak di saham yang justru sedang turun. Kedua, emosi yang tidak terkontrol sangat memengaruhi hasil trading. Rasa takut, serakah, panik, dan euforia sering kali membuat trader mengambil keputusan yang salah. Misalnya, menjual saham terlalu cepat karena takut rugi, atau membeli saham yang sudah naik tinggi karena takut ketinggalan. Tanpa kendali emosi yang baik, strategi sebaik apa pun bisa berantakan. Baca Juga : https://investhink.id/mengenal-logical-fallacy-yang-sering-terjadi-dalam-berinvestasi/ Ketiga, banyak pemula yang tidak punya rencana dan disiplin. Mereka tidak membuat trading plan yang jelas, seperti batasan risiko (cut loss), target keuntungan, dan ukuran lot yang sesuai. Akibatnya, mereka sering overtrading atau membuka posisi terlalu besar dibanding modalnya, yang bisa membuat portofolio cepat habis saat pasar tidak sesuai harapan. Keempat, ekspektasi yang terlalu tinggi juga jadi penyebab kegagalan. Banyak orang berpikir bisa cepat kaya dari trading, padahal kenyataannya tidak semudah itu. Trading adalah proses belajar yang butuh waktu, latihan, dan kesabaran. Mereka yang hanya fokus pada hasil cepat biasanya mudah frustrasi saat mengalami kerugian. Agar tidak masuk ke dalam golongan trader yang gagal, penting untuk belajar secara konsisten, mulai dari hal-hal dasar hingga strategi lanjutan. Latih kemampuan dengan akun simulasi, catat setiap transaksi di jurnal trading, dan evaluasi terus hasilnya. Ingat, tujuan utama di tahun pertama bukan untuk kaya mendadak, tapi untuk bertahan, belajar, dan berkembang sebagai trader yang lebih matang.

Artikel, Investasi, Saham

Takashi Kotegawa, Trader Jepang Yang Raup Jutaan Dolar Dari Kamarnya

Takashi Kotegawa bukanlah sosok yang berasal dari Wall Street atau lulusan universitas bisnis ternama. Ia hanyalah pria Jepang biasa yang sukses mencetak jutaan dolar dari dunia saham, dan semuanya ia lakukan dari dalam kamar kecilnya di rumah orang tuanya. Awal Perjalanan: Dari Modal Kecil ke Mimpi BesarTakashi memulai perjalanannya di dunia trading setelah kehilangan pekerjaannya saat krisis keuangan Jepang di awal 2000-an. Dengan modal sekitar 1,6 juta yen (sekitar $13.000), ia mulai mencoba peruntungan di pasar saham Jepang. Tanpa mentor atau tim ahli, Takashi belajar secara otodidak—membaca, menganalisis grafik, dan mengamati perilaku pasar setiap harinya. Ia mengandalkan day trading, strategi jual beli saham dalam waktu singkat, untuk mendapatkan keuntungan harian. Fokus utamanya adalah pergerakan harga jangka pendek dan reaksi pasar terhadap berita. Dalam waktu singkat, gaya trading agresif dan disiplinnya mulai menunjukkan hasil. Prestasi Mengesankan: Dari Belasan Ribu Menjadi Jutaan Dalam waktu kurang dari 8 tahun, Takashi berhasil mengubah modal kecilnya menjadi lebih dari 1,6 miliar yen atau sekitar $15 juta. Kisah ini bukan hanya tentang uang, tapi juga tentang dedikasi, kontrol emosi, dan manajemen risiko yang disiplin. Salah satu momen yang paling dikenang dalam karier Takashi adalah saat ia mendapat untung besar dari insiden Livedoor pada 2006. Ketika banyak investor panik dan pasar terguncang, Takashi melihat peluang. Ia membeli saham yang undervalued saat harga jatuh dan menjualnya saat pasar pulih—strategi berani yang berbuah manis. Gaya Hidup Sederhana dan Filosofi HidupMeski menjadi miliuner, Takashi tetap hidup sederhana. Ia masih tinggal di rumah orang tuanya, makan dengan biaya murah, dan memakai pakaian biasa. Ia percaya bahwa kesederhanaan adalah kunci menjaga fokus dan kestabilan mental dalam dunia trading yang penuh tekanan. Ia juga menekankan pentingnya psikologi dalam trading. Menurutnya, keserakahan dan ketakutan adalah musuh utama trader. Ia melatih diri untuk tetap tenang dalam tekanan, dan itulah yang membedakannya dari banyak trader lain yang cepat menyerah saat rugi. Pelajaran dari Takashi Kotegawa Mulai dari kecil bukan penghalang untuk meraih besar. Disiplin dan kontrol emosi jauh lebih penting daripada sekadar analisis teknikal. Peluang besar sering datang saat krisis, bukan saat pasar tenang. Gaya hidup sederhana membantu menjaga fokus dan menghindari godaan yang merugikan. Konsistensi jangka panjang lebih berharga daripada keuntungan sesaat.   Penutup Kisah Takashi Kotegawa menjadi inspirasi besar, terutama bagi para trader rumahan yang merasa kecil di tengah gemerlapnya dunia finansial global. Ia membuktikan bahwa dengan pengetahuan, strategi, dan mental yang kuat, siapa pun bisa meraih sukses—bahkan dari balik layar komputer di kamar sendiri.

Artikel, Investasi, Saham

Profil Greg Abel Calon Penerus Warren Buffet di Berkshire Hathaway

Nama Warren Buffett sudah lama identik dengan kejayaan Berkshire Hathaway, salah satu perusahaan investasi terbesar di dunia. Namun, seiring bertambahnya usia sang legenda—yang kini telah memasuki usia 90-an tahun—pertanyaan mengenai siapa yang akan menggantikannya sebagai pemimpin perusahaan menjadi semakin relevan. Jawabannya? Greg Abel, tangan kanan Buffett yang digadang-gadang menjadi suksesor utama. Calon CEO baru Berkshire Hathaway, Greg Abel. Gantikan Warren Buffett. (Dok Bloomberg) Siapa Greg Abel ? Gregory Edward Abel lahir pada 1 Juni 1962 di Edmonton, Alberta, Kanada. Ia adalah lulusan University of Alberta dan memulai karier di dunia keuangan melalui PricewaterhouseCoopers sebelum akhirnya meniti jejak panjang di sektor energi. Pada tahun 1992, ia bergabung dengan MidAmerican Energy, perusahaan energi yang kemudian diakuisisi oleh Berkshire Hathaway. Selama bertahun-tahun, Abel menunjukkan kapasitas kepemimpinan yang kuat dan kejelian bisnis yang tajam. Ia naik ke posisi CEO di MidAmerican (yang kemudian berganti nama menjadi Berkshire Hathaway Energy), dan berhasil mengembangkan perusahaan energi tersebut menjadi salah satu unit bisnis paling menguntungkan di bawah payung Berkshire. Warren Buffett sangat menghargai gaya manajemen Abel yang konservatif namun efektif. Dalam berbagai kesempatan, Buffett memuji dedikasi dan integritas Abel. Pada tahun 2018, Abel diangkat sebagai Vice Chairman untuk operasi non-asuransi Berkshire Hathaway, posisi yang membuatnya langsung berada di bawah Buffett. Keputusan ini memperjelas arah suksesi perusahaan. Buffett sendiri pernah berkata, “The directors are in agreement that if something were to happen to me tonight, it would be Greg who’d take over tomorrow morning.” Hal ini menunjukkan betapa besar kepercayaan Buffett dan dewan direksi terhadap Greg Abel. Mewarisi posisi Warren Buffett bukanlah hal mudah. Greg Abel harus menjaga kepercayaan investor global, mempertahankan kinerja berbagai unit bisnis Berkshire, dan tetap menjaga filosofi investasi yang telah menjadi DNA perusahaan. Tantangan lain termasuk era teknologi yang semakin mendominasi pasar, kebutuhan akan keberlanjutan, serta tekanan dari investor aktivis. Namun, dengan pengalaman puluhan tahun di dalam Berkshire, rekam jejak yang solid, dan pengakuan langsung dari Buffett, Greg Abel dianggap sebagai sosok paling layak untuk memimpin Berkshire Hathaway memasuki babak baru.

Artikel, Investasi, Reksadana, Saham

Pernah Dengar Istilah Cost Basis dalam Investasi? Ini Penjelasannya

Bagi kamu yang mulai aktif berinvestasi, terutama di instrumen seperti saham, reksa dana, atau aset digital, mungkin pernah mendengar istilah “cost basis”. Meski terdengar teknis, memahami istilah ini sangat penting agar kamu bisa menghitung keuntungan investasi dengan tepat dan membuat keputusan finansial yang lebih bijak. Apa itu Cost Basis ? Cost basis atau dasar biaya adalah nilai awal dari suatu aset investasi yang kamu beli. Nilai ini mencakup harga beli aset ditambah dengan biaya tambahan seperti komisi broker, pajak, atau biaya transaksi lainnya. Dengan kata lain, cost basis adalah jumlah total uang yang kamu keluarkan untuk memiliki suatu aset. Mengapa Cost Basis Penting ? Mengetahui cost basis sangat penting karena digunakan untuk: Menghitung capital gain atau kerugian.Ketika kamu menjual aset, selisih antara harga jual dan cost basis adalah keuntungan (gain) atau kerugian (loss) investasimu. Pelaporan pajak.Di beberapa negara, termasuk Indonesia, keuntungan dari penjualan saham atau aset lainnya dikenakan pajak. Untuk menghitung besaran pajak yang adil, kamu harus tahu berapa cost basis-nya. Contoh sederhana  Bayangkan kamu membeli 100 lembar saham seharga Rp1.000 per lembar, dan membayar komisi sebesar Rp50.000. Total pembelian = 100 × Rp1.000 = Rp100.000 Tambah komisi = Rp50.000 Cost basis total = Rp150.000 Jika suatu saat kamu menjual saham tersebut seharga Rp1.500 per lembar, maka: Total hasil jual = 100 × Rp1.500 = Rp150.000 Keuntungan bersih = Rp150.000 – Rp150.000 = Rp0 (tanpa keuntungan karena biaya awal tinggi) Jenis – jenis cost basis  Dalam praktik investasi, ada beberapa metode untuk menghitung cost basis, terutama jika kamu membeli aset yang sama lebih dari sekali: Average Cost Method (Metode Rata-Rata)Menghitung rata-rata dari seluruh harga beli aset. FIFO (First In, First Out)Mengasumsikan aset yang pertama dibeli adalah yang pertama dijual. LIFO (Last In, First Out)Mengasumsikan aset yang terakhir dibeli adalah yang pertama dijual (jarang digunakan dalam pasar modal Indonesia). Kesimpulan Cost basis bukan sekadar angka. Ini adalah fondasi dari strategi keuangan yang sehat. Dengan memahami dan mencatat cost basis setiap kali berinvestasi, kamu bisa: Mengetahui performa investasi secara akurat Membuat perencanaan pajak yang efisien Menghindari kesalahan dalam menghitung keuntungan atau kerugian Jadi, mulai sekarang, jangan remehkan istilah ini. Catat dengan baik setiap pembelian investasi yang kamu lakukan, dan pastikan kamu tahu berapa cost basis-nya. Dengan begitu, keputusan investasimu akan jauh lebih terukur dan cerdas.

Artikel, Cryptocurrency, Investasi, Saham

Mengenal Logical Fallacy yang Sering Terjadi dalam Berinvestasi

Dalam dunia investasi, keputusan yang diambil seharusnya didasarkan pada data, analisis, dan pertimbangan rasional. Namun pada kenyataannya, banyak investor – baik pemula maupun berpengalaman – sering kali terjebak dalam kesalahan berpikir atau logical fallacy. Logical fallacy adalah pola berpikir yang tampak logis tapi sebenarnya menyesatkan. Jika tidak disadari, kesalahan logika ini bisa berdampak buruk pada keputusan investasi dan bahkan menyebabkan kerugian finansial yang besar. Ilustrasi gambar dari istock Adakalanya kita ingin memenangkan perdebatan dengan telak dan tanpa disadari telah mengatakan hal-hal yang personal tentang lawan. Dalam berinvestasi juga, kita merasa apa yang kita pilih adalah yang paling benar, hingga dalam situasi yang terbalik, kita tetap merasa membenarkan pilihan tersebut walaupun kenyataannya salah. Berikut ini beberapa jenis logical fallacy yang paling sering terjadi dalam aktivitas berinvestasi: 1. Gambler’s Fallacy (Kekeliruan Penjudi) Investor menganggap bahwa setelah sebuah aset turun selama beberapa waktu, maka “sudah waktunya” naik kembali. Contoh:“Saham ini sudah turun terus selama seminggu. Besok pasti naik.”→ Padahal, pergerakan harga saham tidak bergantung pada tren masa lalu, melainkan pada kondisi pasar dan faktor fundamental. 2. Sunk Cost Fallacy (Kesalahan Biaya Hangus) Ketika seseorang tetap mempertahankan investasinya karena merasa sudah terlanjur rugi, padahal seharusnya investasi tersebut dihentikan. Contoh:“Saya sudah rugi 10 juta, kalau saya jual sekarang berarti rugi beneran.”→ Padahal, mempertahankan investasi buruk hanya karena sudah rugi malah bisa memperbesar kerugian. 3. Herd Mentality (Ikut-ikutan Mayoritas) Banyak investor terbawa arus dan melakukan apa yang orang lain lakukan tanpa riset atau analisis sendiri. Contoh:“Banyak yang beli saham ini, pasti bagus!”→ Padahal, popularitas tidak selalu berarti kualitas. Tren pasar bisa berubah cepat. 4. Confirmation Bias (Bias Konfirmasi) Mencari informasi yang hanya mendukung keyakinan pribadi, dan mengabaikan informasi yang bertentangan. Contoh:“Menurut saya saham ini bagus, jadi saya hanya baca artikel yang mendukung.”→ Ini bisa membuat penilaian menjadi tidak objektif dan menutup mata terhadap risiko yang nyata. 5. Overconfidence Bias (Terlalu Percaya Diri) Merasa yakin bahwa keputusan yang diambil pasti benar, sering kali karena pengalaman untung sebelumnya. Contoh:“Saya pernah untung besar di saham ini, saya yakin akan terulang.”→ Pasar bersifat dinamis, dan keberhasilan masa lalu tidak menjamin keberhasilan masa depan. 6. Recency Bias (Bias Kejadian Terbaru) Menganggap bahwa kejadian yang baru terjadi akan terus berlangsung di masa depan. Contoh:“Dalam 2 minggu ini harga terus naik, pasti masih akan naik.”→ Keputusan investasi tidak boleh hanya berdasarkan tren jangka pendek, karena bisa menyesatkan. 7. Anchoring Bias (Bias Patokan) Mengandalkan harga atau data awal sebagai patokan tetap, meskipun sudah tidak relevan. Contoh:“Saham ini dulu pernah 20.000, sekarang 10.000 berarti murah.”→ Harga murah harus dibandingkan dengan kondisi fundamental saat ini, bukan sekadar masa lalu. Kesimpulan  Logical fallacy dalam investasi bisa menggiring investor pada keputusan yang tidak logis, bahkan merugikan. Menyadari adanya kesalahan berpikir ini adalah langkah awal untuk menjadi investor yang lebih bijak dan rasional. Alih-alih mengikuti emosi atau asumsi yang menyesatkan, penting untuk selalu kembali ke data, riset, dan logika yang sehat. Dengan menghindari fallacy dalam berpikir, kamu bisa mengambil keputusan investasi yang lebih matang dan terukur — dan itu adalah kunci utama menuju kesuksesan finansial jangka panjang.

Artikel, Investasi, Saham

Apa Itu Standar Deviasi dalam Investasi Saham ?

Dalam dunia investasi, memahami risiko adalah kunci untuk membuat keputusan yang bijak. Salah satu cara paling umum dan penting untuk mengukur risiko adalah melalui standar deviasi. Tapi, apa sebenarnya standar deviasi itu dan mengapa penting bagi investor? Ilustrasi Standar Deviasi  Standar deviasi adalah ukuran statistik yang menunjukkan seberapa besar fluktuasi (variabilitas) return (keuntungan) suatu investasi dari rata-ratanya. Dalam konteks investasi, standar deviasi membantu mengukur tingkat risiko atau ketidakpastian dari hasil investasi tersebut. Jika return suatu investasi memiliki standar deviasi yang tinggi, artinya nilai investasinya sering berubah secara ekstrem, baik naik maupun turun. Sebaliknya, jika standar deviasi rendah, maka fluktuasi return-nya relatif stabil dan konsisten. Misalnya, dua saham memiliki rata-rata return tahunan 10%: Saham A memiliki standar deviasi 3% → artinya return biasanya bergerak antara 7% hingga 13%. Saham B memiliki standar deviasi 15% → artinya return bisa bergerak liar antara -5% hingga 25%. Dari sini, kita tahu bahwa Saham B lebih berisiko meskipun rata-rata keuntungannya sama dengan Saham A. Mengapa standar deviasi penting dalam investasi ? Mengukur Risiko Investasi:Investor bisa membandingkan risiko antar aset, misalnya saham vs obligasi. Menentukan Toleransi Risiko:Investor konservatif cenderung memilih aset dengan standar deviasi rendah. Sementara investor agresif bisa lebih toleran terhadap volatilitas tinggi. Membentuk Portofolio Seimbang:Dengan mengetahui standar deviasi masing-masing aset, investor bisa mengkombinasikan aset yang saling melengkapi (diversifikasi) agar risiko total portofolio lebih terkendali. Hubungan dengan Diversifikasi ? Menambahkan berbagai jenis aset dalam portofolio (diversifikasi) dapat mengurangi standar deviasi total portofolio, selama aset-aset tersebut tidak berkorelasi sempurna. Grafik hubungan antara jumlah saham dalam portofolio dengan standar deviasi menunjukkan bahwa risiko bisa diturunkan secara signifikan hingga titik tertentu (sekitar 15–20 saham). Kesimpulan Standar deviasi dalam investasi bukan hanya angka statistik, tetapi merupakan alat penting untuk memahami dan mengelola risiko. Dengan memahami standar deviasi, investor dapat membuat keputusan yang lebih tepat sesuai dengan tujuan keuangan dan profil risiko mereka. Ingat, return yang tinggi sering kali datang bersama risiko yang tinggi, dan standar deviasi membantu Anda melihat sejauh mana risiko itu dapat diterima.

Scroll to Top