Author name: Tim Edukator

Artikel, Investasi, Korporasi, Saham

Kenapa Perusahaan Mengeluarkan Waran

Waran adalah salah satu instrumen dalam dunia pasar modal yang sering muncul saat perusahaan melakukan aksi korporasi, terutama saat right issue atau penawaran saham terbatas. Waran sendiri merupakan surat berharga yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk membeli saham perusahaan pada harga tertentu dalam jangka waktu tertentu. Namun, waran bukanlah saham, melainkan hanya hak untuk membeli saham. Jika waran tidak digunakan dalam periode yang ditentukan, maka hak tersebut akan hangus dan tidak bisa digunakan lagi. Lalu, kenapa perusahaan menerbitkan waran? Salah satu alasan utamanya adalah untuk menarik minat investor. Saat perusahaan melakukan right issue, kadang investor enggan membeli saham baru. Untuk mendorong partisipasi, perusahaan biasanya memberikan bonus waran. Ini dianggap menarik karena waran bisa memberikan potensi keuntungan di masa depan, terutama jika harga saham perusahaan naik. Selain itu, perusahaan juga menerbitkan waran sebagai strategi untuk mendapatkan dana tambahan di masa mendatang. Ketika investor menebus waran dan membeli saham dengan harga yang ditentukan, perusahaan akan menerima dana dari hasil penjualan saham tersebut. Selain sebagai insentif, penerbitan waran juga membantu perusahaan menghindari dilusi saham secara langsung. Karena waran hanya bisa dikonversi menjadi saham dalam jangka waktu tertentu, jumlah saham perusahaan tidak langsung bertambah pada saat waran diterbitkan. Baca juga : https://investhink.id/apa-itu-dividen-ini-penjelasan-sederhananya/ Ini berguna untuk menjaga stabilitas harga saham di pasar. Dalam jangka panjang, waran bisa menjadi bagian dari strategi keuangan perusahaan, seperti untuk ekspansi bisnis, pembiayaan proyek baru, atau bahkan sebagai cadangan dana. Contoh penerbitan waran di Indonesia bisa dilihat dari beberapa perusahaan seperti PT Bank Woori Saudara Indonesia Tbk (SDRA) dan PT MNC Kapital Indonesia Tbk (BCAP), yang menggunakan waran sebagai bagian dari upaya pendanaan mereka. Bagi investor, waran bisa menjadi peluang untuk membeli saham dengan harga lebih murah di masa depan, namun tentu saja tetap ada risiko jika harga saham tidak naik sesuai harapan. Oleh karena itu, penting bagi investor untuk memahami cara kerja dan masa berlaku waran sebelum memutuskan untuk memilikinya.

Artikel, Investasi, Korporasi, Saham

Apa Itu Dividen? Ini Penjelasan Sederhananya

Dividen adalah pembagian keuntungan dari perusahaan kepada para pemegang saham. Jadi, ketika kamu membeli saham suatu perusahaan, kamu sebenarnya ikut menjadi pemilik kecil dari perusahaan tersebut. Jika perusahaan tersebut mendapatkan keuntungan, maka sebagian dari keuntungannya bisa dibagikan kepada para pemilik saham, termasuk kamu. Inilah yang disebut dengan dividen. Dividen biasanya dibagikan dalam dua bentuk, yaitu dividen tunai dan dividen saham. Dividen tunai adalah pembagian dalam bentuk uang yang langsung masuk ke rekening efek milik investor. Sementara dividen saham adalah pembagian dalam bentuk tambahan lembar saham, jadi jumlah saham yang kamu miliki akan bertambah. Meskipun bentuknya berbeda, keduanya tetap memberikan nilai tambah bagi para pemegang saham. Tidak semua perusahaan membagikan dividen. Ada perusahaan yang memilih menyimpan keuntungannya untuk digunakan kembali dalam pengembangan usaha, seperti membangun pabrik baru, membeli peralatan, atau ekspansi ke daerah lain. Namun, banyak juga perusahaan besar dan stabil yang rutin membagikan dividen setiap tahun sebagai bentuk penghargaan kepada para investornya. Baca juga : https://investhink.id/merger-akuisisi-apa-itu-dan-kenapa-penting/ Bagi investor, dividen adalah salah satu cara untuk mendapatkan penghasilan pasif. Kamu bisa mendapatkan uang atau tambahan saham hanya dengan menyimpan saham dalam jangka waktu tertentu. Jika kamu membeli saham sebelum tanggal yang disebut cum date, maka kamu berhak mendapatkan dividen. Tapi kalau kamu beli setelah tanggal itu, kamu tidak akan mendapatkan dividen meskipun memiliki sahamnya. Secara sederhana, dividen adalah bonus atau “uang jajan” dari perusahaan kepada para pemilik saham sebagai tanda bahwa perusahaan sedang untung dan ingin berbagi hasilnya. Bagi kamu yang tertarik investasi jangka panjang, memilih saham perusahaan yang rutin membagikan dividen bisa menjadi pilihan cerdas untuk menambah pemasukan dan membangun kekayaan secara perlahan.

Artikel, Investasi, Korporasi, Saham

Merger & Akuisisi: Apa Itu dan Kenapa Penting?

Merger dan akuisisi adalah dua istilah yang sering digunakan dalam dunia bisnis, terutama ketika perusahaan ingin berkembang atau memperkuat posisinya di pasar. Merger adalah proses penggabungan dua atau lebih perusahaan menjadi satu perusahaan baru. Setelah merger terjadi, perusahaan-perusahaan yang bergabung tidak lagi beroperasi secara terpisah, melainkan menjadi satu kesatuan dengan nama dan manajemen baru. Misalnya, jika dua toko besar memutuskan untuk bersatu, maka mereka akan menjadi satu toko yang lebih besar dengan sumber daya yang digabungkan. Sementara itu, akuisisi adalah tindakan ketika satu perusahaan membeli perusahaan lain dan mengambil alih pengelolaannya. Dalam akuisisi, perusahaan yang dibeli bisa tetap berjalan dengan nama lama atau bisa juga diganti sesuai keputusan pemilik baru. Akuisisi tidak selalu berarti perusahaan yang dibeli dalam kondisi buruk, karena kadang perusahaan besar membeli perusahaan kecil yang memiliki produk inovatif atau pasar yang potensial. Baca juga : https://investhink.id/satu-hal-yang-jarang-diketahui-orang-tentang-ipo/ Ada beberapa alasan mengapa perusahaan melakukan merger atau akuisisi. Salah satunya adalah untuk memperluas jangkauan pasar. Dengan bergabung atau membeli perusahaan lain, sebuah perusahaan bisa masuk ke wilayah baru atau mendapatkan pelanggan baru. Selain itu, merger dan akuisisi juga bisa membantu perusahaan menghemat biaya operasional, karena sumber daya bisa digabung dan dikelola lebih efisien. Alasan lainnya adalah untuk memperkuat daya saing, mendapatkan teknologi baru, atau meningkatkan kapasitas produksi. Contoh merger dan akuisisi yang pernah terjadi di Indonesia adalah saat Grab mengakuisisi Uber di Asia Tenggara pada tahun 2018. Setelah proses akuisisi itu, layanan Uber tidak lagi beroperasi dan seluruh armadanya bergabung dengan Grab. Contoh lainnya adalah Bank BRI yang mengakuisisi Bank Agroniaga (BRI Agro) untuk memperluas layanan ke sektor pertanian. Secara umum, merger dan akuisisi merupakan strategi bisnis yang penting bagi perusahaan yang ingin tumbuh lebih cepat dan lebih kuat. Dengan memahami konsep ini, kita bisa melihat bagaimana perusahaan-perusahaan besar berusaha menjaga kelangsungan usahanya dan menghadapi persaingan di pasar yang terus berubah.

Artikel, Investasi, Korporasi, Saham

Satu Hal yang Jarang Diketahui Orang Tentang IPO

Banyak orang menganggap IPO (Initial Public Offering) sebagai tanda bahwa sebuah perusahaan sedang tumbuh dan siap untuk berkembang lebih besar. Ketika sebuah perusahaan mengumumkan akan go public dan menjual sahamnya ke publik untuk pertama kalinya, euforia sering kali langsung muncul. Para investor berbondong-bondong membeli saham IPO dengan harapan bisa mendapatkan keuntungan besar dalam waktu singkat. Tapi ada satu hal penting yang jarang diketahui orang: tidak semua perusahaan melakukan IPO karena ingin berkembang. Beberapa perusahaan justru melakukan IPO sebagai strategi pemilik lama untuk menjual sebagian kepemilikan mereka dan mengambil keuntungan. Ini disebut juga sebagai exit strategy. Contohnya, pendiri perusahaan, pemegang saham awal, atau investor besar seperti venture capital sudah berinvestasi sejak perusahaan belum terkenal. Mereka membeli saham di harga yang sangat murah, dan setelah perusahaan dinilai tinggi, mereka ingin “mencairkan” keuntungan mereka. Salah satu cara terbaik adalah dengan menjual sebagian saham ke publik melalui IPO. Artinya, saat investor ritel seperti kita masuk dan membeli saham IPO, bisa jadi kita justru mengambil alih risiko dari mereka yang sudah mau keluar. Hal ini sebenarnya tidak salah atau curang—ini bagian dari strategi bisnis. Tapi, yang jadi masalah adalah ketika kita ikut-ikutan membeli saham IPO tanpa tahu latar belakangnya. Banyak orang hanya tergoda karena melihat antusiasme pasar atau karena saham-saham IPO sebelumnya sempat naik tinggi. Padahal, tidak sedikit juga saham IPO yang langsung turun harganya setelah beberapa hari atau minggu karena overvalued atau karena euforia sudah lewat. Oleh karena itu, penting bagi kita sebagai investor untuk tidak asal ikut tren. Pelajari dulu prospektus perusahaan, cari tahu siapa yang menjual saham dalam IPO tersebut, dan lihat juga kondisi keuangannya. Apakah perusahaan benar-benar butuh dana untuk ekspansi, atau justru pemilik lama sedang mencari jalan keluar? Dengan memahami hal ini, kita bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan investasi. IPO bisa menjadi peluang, tapi juga bisa jadi jebakan. Jangan hanya lihat peluang cuannya, tapi pahami juga risikonya.

Artikel, Cryptocurrency, Investasi, Psikologi, Saham

Herd Mentality dalam Investasi: Ketika Ikut-ikutan Bisa Merugikan

Dalam dunia investasi, pengambilan keputusan yang rasional dan berdasarkan analisis merupakan kunci utama untuk meminimalkan risiko dan memaksimalkan keuntungan. Namun, sering kali investor terjebak dalam perilaku psikologis yang dikenal sebagai herd mentality atau mentalitas kawanan. Herd mentality terjadi ketika seseorang mengikuti keputusan mayoritas tanpa mempertimbangkan data, logika, atau strategi pribadi. Dalam konteks investasi, hal ini biasanya ditandai dengan tindakan membeli atau menjual aset semata-mata karena melihat banyak orang lain melakukan hal yang sama, bukan karena memahami nilai atau potensi investasi tersebut. Salah satu contoh nyata dari herd mentality adalah fenomena Dogecoin pada tahun 2021. Aset kripto yang awalnya hanya dibuat sebagai lelucon ini mengalami lonjakan harga yang luar biasa setelah tokoh publik seperti Elon Musk menyebutnya di media sosial. Banyak investor pemula ikut membeli Dogecoin karena takut ketinggalan momen keuntungan (FOMO – Fear of Missing Out), tanpa mempelajari terlebih dahulu fundamental dari aset tersebut. Ketika hype mereda, harga Dogecoin pun jatuh dan menyebabkan kerugian besar bagi mereka yang membeli di harga puncak. Baca juga : https://investhink.id/recency-bias-dalam-trading-saat-pengalaman-terbaru-menyesatkan-keputusan/ Contoh lainnya adalah lonjakan harga saham GameStop (GME) yang didorong oleh komunitas Reddit. Ribuan orang membeli saham GME sebagai bentuk perlawanan terhadap investor institusi yang melakukan short selling. Akibatnya, harga saham GME melonjak tajam, namun kemudian turun drastis. Banyak investor individu mengalami kerugian karena ikut membeli tanpa memahami risiko yang ada. Perilaku herd mentality dalam investasi bisa sangat berbahaya karena mendorong keputusan yang emosional, bukan rasional. Ini bisa menciptakan gelembung harga (bubble) yang akhirnya pecah dan menimbulkan kerugian besar. Investor yang terbawa arus tren sering kali hanya mengikuti kerumunan tanpa memiliki pemahaman yang cukup tentang aset yang dibelinya. Untuk menghindari dampak negatif dari herd mentality, investor perlu membangun kebiasaan untuk melakukan analisis sendiri, memiliki tujuan investasi yang jelas, serta mampu menahan diri ketika pasar sedang euforia. Diversifikasi portofolio juga penting agar tidak terlalu bergantung pada satu jenis aset yang sedang tren. Kesimpulannya, herd mentality bisa terlihat menggoda karena menjanjikan keuntungan cepat dengan mengikuti mayoritas, namun dalam kenyataannya bisa berujung pada keputusan yang merugikan. Investor yang sukses bukanlah mereka yang selalu mengikuti keramaian, tetapi mereka yang mampu berpikir mandiri, sabar, dan disiplin dalam menjalankan strategi investasinya.     

Artikel, Investasi, Psikologi, Saham

Self-Serving Bias dalam Investasi: Musuh Dalam Diri Sendiri

Dalam dunia investasi, tidak hanya analisis pasar dan strategi keuangan yang berperan penting, tetapi juga faktor psikologis. Salah satu bias psikologis yang sering terjadi tanpa disadari adalah self-serving bias. Self-serving bias adalah kecenderungan seseorang untuk menganggap keberhasilan sebagai hasil dari kemampuan pribadi, sementara kegagalan disalahkan pada faktor luar seperti kondisi pasar atau nasihat orang lain. Dalam konteks investasi, bias ini dapat menjadi jebakan mental yang membuat investor merasa terlalu percaya diri dan sulit belajar dari kesalahan. Sebagai contoh, bayangkan seorang investor bernama Dika membeli saham perusahaan teknologi karena membaca tren pasar yang sedang naik. Tiga bulan kemudian, harga saham tersebut melonjak hingga 50%, dan Dika merasa ini adalah bukti bahwa dia cerdas dan berbakat dalam memilih saham. Merasa percaya diri, ia mulai berinvestasi lebih agresif di saham lain tanpa riset mendalam. Namun sayangnya, saham-saham barunya justru mengalami penurunan nilai. Alih-alih mengevaluasi keputusan investasinya, Dika menyalahkan faktor eksternal seperti kondisi ekonomi global atau rekomendasi temannya. Ini adalah bentuk nyata dari self-serving bias, di mana seseorang gagal melihat kontribusi kesalahan pribadinya dalam hasil buruk yang terjadi. Baca juga : https://investhink.id/illusion-of-control-dalam-investasi-mengapa-kita-terkadang-merasa-memiliki-kendali-lebih-dari-yang-sebenarnya/ Self-serving bias dapat berdampak negatif dalam jangka panjang. Bias ini membuat investor cenderung mengulangi kesalahan yang sama karena tidak pernah benar-benar mengevaluasi keputusan dengan objektif. Investor bisa menjadi terlalu percaya diri (overconfident), mengabaikan risiko, dan akhirnya mengambil keputusan yang tidak rasional. Untuk mengatasi hal ini, penting bagi investor untuk membuat catatan tentang alasan di balik setiap keputusan investasi, dan mengevaluasi hasilnya secara jujur—apakah keputusan tersebut benar-benar berdasarkan analisis yang tepat atau hanya keberuntungan semata. Selain itu, memiliki mentalitas pembelajar sangat penting dalam dunia investasi. Investor yang sukses bukanlah mereka yang selalu benar, tetapi mereka yang mampu belajar dari kesalahan dan memperbaiki strateginya dari waktu ke waktu. Menyadari adanya self-serving bias dalam diri sendiri adalah langkah awal untuk menjadi investor yang lebih bijak dan rasional.

Artikel, Cryptocurrency, Investasi, Psikologi, Saham

Hindsight Bias dalam Investasi : Hampir Semua Orang Mengalaminya

Dalam dunia investasi, banyak orang sering berkata, “Harusnya dulu aku beli saham itu, jelas-jelas bakal naik!” atau “Sudah kelihatan dari awal kalau harga properti bakal naik!” Pernyataan seperti ini merupakan contoh dari hindsight bias. Hindsight bias adalah kecenderungan seseorang untuk percaya bahwa mereka bisa memprediksi hasil suatu peristiwa setelah peristiwa itu terjadi. Padahal kenyataannya, prediksi itu baru terasa “jelas” setelah kita tahu hasil akhirnya. Bias ini sering muncul setelah kita melihat keberhasilan atau kegagalan investasi. Misalnya, setelah saham teknologi tertentu naik drastis, seseorang merasa bahwa kenaikan itu sudah bisa ditebak sejak awal. Namun jika kita kembali ke waktu sebelum harga naik, sebenarnya banyak ketidakpastian, dan keputusan untuk membeli belum tentu semudah yang dibayangkan. Kita hanya merasa “tahu” karena hasilnya sudah jelas sekarang. Baca juga : https://investhink.id/sunk-cost-fallacy-ketika-kesetiaan-justru-merugikan-dalam-trading/ Hindsight bias bisa menjadi jebakan dalam berpikir. Ketika kita merasa keputusan investasi harusnya bisa lebih baik di masa lalu, kita cenderung menyalahkan diri sendiri atau malah merasa lebih pintar dari yang sebenarnya. Hal ini bisa membuat kita kehilangan pembelajaran penting dari proses investasi itu sendiri. Padahal, dalam dunia investasi, hasil akhir tidak selalu mencerminkan kualitas keputusan. Contoh lainnya, seseorang yang melewatkan membeli Bitcoin di tahun 2015 mungkin merasa bodoh di tahun 2021 karena tidak ikut untung besar. Namun di tahun 2015, banyak orang masih ragu dan tidak yakin terhadap masa depan Bitcoin. Keputusan untuk tidak membeli saat itu sangat masuk akal bagi sebagian orang, berdasarkan informasi dan risiko yang tersedia saat itu. Hindsight bias menghapus pertimbangan realistis yang terjadi di masa lalu. Efek dari bias ini bisa sangat merugikan. Salah satunya adalah overconfidence, yaitu rasa percaya diri berlebihan dalam mengambil keputusan investasi berikutnya. Karena merasa bisa menebak pasar, seseorang bisa mengambil risiko besar tanpa analisa yang mendalam, dan akhirnya bisa mengalami kerugian. Selain itu, bias ini juga bisa membuat kita terlalu keras terhadap diri sendiri, merasa menyesal terus-menerus, dan sulit move on dari keputusan masa lalu. Untuk menghindari hindsight bias, cobalah untuk mencatat alasan dari setiap keputusan investasi yang diambil. Dengan begitu, kita bisa mengevaluasi prosesnya secara objektif, bukan hanya menilai berdasarkan hasil. Penting juga untuk menerima bahwa investasi selalu penuh dengan ketidakpastian. Belajar dari masa lalu itu penting, tapi menganggap diri “sudah tahu sejak awal” hanya akan menghambat perkembangan kita sebagai investor.

Investasi, Psikologi, Saham

Recency Bias dalam Trading: Saat Pengalaman Terbaru Menyesatkan Keputusan

Dalam dunia trading, salah satu tantangan terbesar bukan hanya soal menganalisis grafik atau memahami berita ekonomi, tetapi juga bagaimana mengendalikan psikologi diri sendiri. Salah satu jebakan psikologis yang sering menjerat trader adalah recency bias, yaitu kecenderungan untuk lebih mempercayai informasi atau peristiwa yang baru saja terjadi, dan menganggapnya sebagai dasar utama dalam mengambil keputusan. Bias ini membuat kita lupa bahwa pasar bergerak dalam jangka panjang dan tidak selalu mencerminkan pola yang sama setiap saat. Sebagai contoh, bayangkan seorang trader pemula yang baru saja melihat harga saham tertentu naik selama tiga hari berturut-turut. Karena merasa yakin tren tersebut akan terus berlanjut, ia langsung membeli saham itu tanpa analisis lebih lanjut. Namun sayangnya, keesokan harinya harga saham justru turun tajam karena rilis laporan keuangan yang buruk—informasi yang sebenarnya sudah bisa diakses jika ia mau menggali lebih dalam. Ini adalah bentuk nyata dari recency bias: terlalu fokus pada peristiwa terbaru (kenaikan harga tiga hari terakhir) tanpa memperhitungkan faktor lain yang lebih besar dan relevan. Di sisi lain, seorang trader yang baru saja mengalami kerugian besar dalam dua transaksi terakhir bisa saja menjadi terlalu takut dan memilih untuk tidak mengambil peluang berikutnya, padahal sinyal pasar saat itu sangat mendukung untuk entry. Karena trauma dari kerugian terbaru, ia gagal mengambil keputusan rasional. Baca juga : https://investhink.id/illusion-of-control-dalam-investasi-mengapa-kita-terkadang-merasa-memiliki-kendali-lebih-dari-yang-sebenarnya/ Recency bias sering membuat trader terjebak dalam pola pikir jangka pendek, mengabaikan data historis, dan terlalu bergantung pada emosi. Padahal dalam trading, konsistensi dan disiplin terhadap strategi jangka panjang jauh lebih penting daripada reaksi sesaat. Untuk menghindari bias ini, penting bagi trader untuk membiasakan diri melihat data dalam konteks yang lebih luas, seperti grafik mingguan atau bulanan, bukan hanya pergerakan harian. Selain itu, mencatat setiap keputusan trading dalam jurnal bisa membantu melihat pola pikir kita secara lebih objektif. Ketika kita mulai menyadari bahwa keputusan yang kita ambil lebih karena “feeling” akibat pengalaman terbaru, maka itulah saatnya untuk berhenti sejenak dan mengevaluasi ulang pendekatan kita. Singkatnya, recency bias adalah jebakan halus yang sering terjadi tanpa disadari. Ia membuat kita percaya bahwa apa yang baru saja terjadi adalah petunjuk pasti dari masa depan, padahal pasar sangat dinamis dan seringkali tidak bisa ditebak hanya dari satu atau dua peristiwa terbaru. Dengan menyadari keberadaan bias ini, seorang trader bisa lebih berhati-hati, lebih rasional, dan lebih siap dalam menghadapi segala kondisi pasar.

Artikel, Investasi, Psikologi, Saham

Illusion of Control dalam Investasi: Mengapa Kita Terkadang Merasa Memiliki Kendali Lebih dari yang Sebenarnya?

Illusion of control adalah fenomena psikologis di mana seseorang merasa memiliki lebih banyak kendali terhadap suatu situasi daripada yang sebenarnya. Dalam konteks investasi, hal ini terjadi ketika seorang investor merasa bahwa dengan melakukan analisis tertentu, memilih saham, atau mengikuti tren pasar, mereka bisa mengontrol hasil dari investasi mereka. Namun, pada kenyataannya, banyak faktor eksternal yang tak terduga yang mempengaruhi pasar. Misalnya, seorang investor mungkin merasa yakin memilih saham teknologi tertentu karena laporan laba yang bagus, dan menganggap bahwa saham tersebut pasti akan naik. Mereka merasa bahwa pilihan tersebut akan memberikan keuntungan besar, namun pasar bisa dipengaruhi oleh faktor global yang tak bisa mereka prediksi, seperti perubahan kebijakan pemerintah atau kondisi ekonomi internasional yang buruk. Fenomena ini sering terjadi karena beberapa faktor psikologis, seperti overconfidence atau kepercayaan diri yang berlebihan. Investor cenderung merasa bahwa pengetahuan atau intuisi mereka lebih akurat daripada pasar secara keseluruhan. Misalnya, seorang investor yang mengikuti tren pasar tertentu, seperti saham perusahaan yang sedang populer, merasa bahwa mereka tahu arah pasar dengan lebih baik daripada orang lain. Mereka juga sering mencari pola-pola dalam data yang sebenarnya tidak ada, atau mereka hanya memperhatikan informasi yang mendukung keputusan mereka dan mengabaikan hal-hal yang bisa merugikan keputusan tersebut, yang dikenal dengan bias konfirmasi. Dampak dari illusion of control bisa sangat merugikan. Investor yang terjebak dalam pemikiran ini cenderung membuat keputusan investasi yang terlalu berisiko, seperti berinvestasi dalam saham yang tidak cukup terdiversifikasi atau terlalu sering melakukan transaksi dengan harapan dapat mengalahkan pasar. Sebagai contoh, seorang investor yang percaya pada kemampuan mereka untuk memilih saham-saham dengan potensi tinggi bisa melakukan banyak transaksi saham dalam waktu singkat, berharap meraih keuntungan besar. Namun, ini justru bisa menyebabkan kerugian karena mereka tidak mengantisipasi risiko yang datang dari volatilitas pasar yang tidak terkendali. Untuk menghindari jebakan ini, penting bagi investor untuk memiliki kesadaran diri tentang batasan mereka dalam mengendalikan pasar. Mereka harus belajar untuk menerima bahwa banyak faktor yang tidak bisa mereka kontrol dan memperlakukan investasi sebagai proses jangka panjang. Misalnya, alih-alih terlalu fokus pada saham individu yang berisiko, seorang investor yang bijaksana akan berfokus pada diversifikasi portofolio, dengan membeli berbagai jenis saham atau instrumen investasi lainnya, untuk menyebarkan risiko. Baca juga : https://investhink.id/anchoring-effect-dalam-investasi-saham-ketika-angka-pertama-menentukan-segalanya/ Pendekatan ini membantu mereka melepaskan ilusi bahwa mereka bisa mengontrol hasil pasar dan meminimalisir kerugian yang tidak perlu. Seiring waktu, pendekatan yang realistis dan berbasis pada strategi jangka panjang ini akan membawa hasil yang lebih stabil, daripada terlalu mengandalkan keberuntungan atau taktik spekulatif yang bisa berisiko tinggi.

Investasi, Psikologi, Saham

Sunk Cost Fallacy: Ketika Kesetiaan Justru Merugikan dalam Trading

Bayangkan Anda adalah direktur sebuah perusahaan pembuat kapal. Anda diberi dana sebesar 100 juta USD untuk mengembangkan kapal pesiar yang mewah dan hemat energi. Proyek ini sudah berjalan dan 40% dana telah digunakan. Namun, pesaing Anda tiba-tiba meluncurkan produk serupa yang jauh lebih cepat, hemat bahan bakar, dan sudah lebih dulu masuk pasar.  Menurut perhitungan tim anda, sangat susah mengalahkan Kapal pesiar tersebut mengingat Kapal pesiar tersebut lebih baik dari segala aspek. Pertanyaanya. Maukah anda menghabiskan sisa dana anda untuk melanjutkan pembuatan pesawat siluman anda? Meski begitu, sebagian besar orang dalam posisi Anda justru memilih untuk tetap melanjutkan proyek dan menghabiskan sisa dana yang ada. Alasannya sederhana: sudah terlanjur keluar biaya, tenaga, dan waktu. Mereka tidak ingin semua itu menjadi sia-sia. Inilah yang disebut dengan Sunk Cost Fallacy, sebuah bias psikologis yang membuat seseorang sulit melepaskan sesuatu yang sudah diinvestasikan, walaupun jelas-jelas merugikan. Baca juga : https://investhink.id/anchoring-effect-dalam-investasi-saham-ketika-angka-pertama-menentukan-segalanya/ Lalu, mari kita ubah sedikit skenario. Kali ini Anda adalah direktur baru yang ditunjuk setelah proyek kapal pesiar yang sudah berjalan dan menghabiskan 40% dana. Ketika melihat data dan hasil analisis, Anda sadar bahwa proyek ini sulit bersaing dan kemungkinan besar akan gagal. Menariknya, dalam posisi ini, mayoritas orang justru memilih untuk menghentikan proyek. Mengapa? Karena Anda tidak memiliki keterikatan emosional terhadap keputusan sebelumnya—Anda bisa berpikir lebih rasional dan objektif. Contoh serupa juga bisa kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, Anda membeli makanan mahal, tapi rasanya tidak enak. Namun karena sudah membayar mahal, Anda tetap memakannya meski tidak menikmati. Atau dalam dunia investasi, Anda mempertahankan saham yang terus merugi hanya karena merasa sudah menghabiskan waktu dan energi untuk menganalisisnya. Bahkan dalam hubungan pribadi, seseorang bisa bertahan dengan pasangan yang menyakiti hanya karena merasa “sudah terlalu lama bersama.” Sunk Cost Fallacy bisa dibilang sebagai bentuk “bucin” dalam dunia finansial. Kita tidak mengambil keputusan berdasarkan logika, tapi karena takut merasa rugi secara emosional. Padahal, mempertahankan keputusan yang salah justru bisa memperbesar kerugian, baik secara materi maupun psikologis. Untuk menghindari jebakan ini, penting untuk selalu menilai sesuatu dari kondisi saat ini dan prospek ke depan, bukan berdasarkan apa yang telah kita keluarkan di masa lalu. Jangan ragu untuk cut loss jika memang diperlukan. Ingatlah bahwa pasar tidak peduli seberapa besar usaha dan modal yang telah Anda keluarkan. Kesimpulannya, Sunk Cost Fallacy adalah bias yang sangat umum namun berbahaya, terutama dalam dunia trading dan investasi. Semakin cepat kita menyadarinya, semakin besar peluang kita untuk membuat keputusan yang lebih sehat, rasional, dan menguntungkan, baik dalam keuangan maupun dalam hidup secara keseluruhan.

Scroll to Top