Author name: Tim Edukator

Artikel, Investasi, Saham

Kenapa 8 dari 10 Trader Saham Gagal di Tahun Pertamanya ?

Trading saham sering dianggap sebagai cara cepat untuk mendapatkan keuntungan besar. Banyak orang yang terinspirasi dari media sosial atau cerita sukses para trader, lalu langsung terjun ke dunia pasar modal. Namun kenyataannya, sebagian besar trader pemula justru gagal di tahun pertamanya. Sekitar 8 dari 10 orang mengalami kerugian dan akhirnya menyerah. Apa penyebabnya? Pertama, minimnya pengetahuan menjadi faktor utama. Banyak pemula yang belum memahami dasar-dasar trading, seperti cara membaca grafik, mengenal indikator teknikal, hingga strategi entry dan exit yang benar. Mereka hanya membeli saham yang sedang ramai dibicarakan tanpa analisis yang kuat. Akibatnya, mereka sering terjebak di saham yang justru sedang turun. Kedua, emosi yang tidak terkontrol sangat memengaruhi hasil trading. Rasa takut, serakah, panik, dan euforia sering kali membuat trader mengambil keputusan yang salah. Misalnya, menjual saham terlalu cepat karena takut rugi, atau membeli saham yang sudah naik tinggi karena takut ketinggalan. Tanpa kendali emosi yang baik, strategi sebaik apa pun bisa berantakan. Baca Juga : https://investhink.id/mengenal-logical-fallacy-yang-sering-terjadi-dalam-berinvestasi/ Ketiga, banyak pemula yang tidak punya rencana dan disiplin. Mereka tidak membuat trading plan yang jelas, seperti batasan risiko (cut loss), target keuntungan, dan ukuran lot yang sesuai. Akibatnya, mereka sering overtrading atau membuka posisi terlalu besar dibanding modalnya, yang bisa membuat portofolio cepat habis saat pasar tidak sesuai harapan. Keempat, ekspektasi yang terlalu tinggi juga jadi penyebab kegagalan. Banyak orang berpikir bisa cepat kaya dari trading, padahal kenyataannya tidak semudah itu. Trading adalah proses belajar yang butuh waktu, latihan, dan kesabaran. Mereka yang hanya fokus pada hasil cepat biasanya mudah frustrasi saat mengalami kerugian. Agar tidak masuk ke dalam golongan trader yang gagal, penting untuk belajar secara konsisten, mulai dari hal-hal dasar hingga strategi lanjutan. Latih kemampuan dengan akun simulasi, catat setiap transaksi di jurnal trading, dan evaluasi terus hasilnya. Ingat, tujuan utama di tahun pertama bukan untuk kaya mendadak, tapi untuk bertahan, belajar, dan berkembang sebagai trader yang lebih matang.

Artikel, Investasi, Saham

Takashi Kotegawa, Trader Jepang Yang Raup Jutaan Dolar Dari Kamarnya

Takashi Kotegawa bukanlah sosok yang berasal dari Wall Street atau lulusan universitas bisnis ternama. Ia hanyalah pria Jepang biasa yang sukses mencetak jutaan dolar dari dunia saham, dan semuanya ia lakukan dari dalam kamar kecilnya di rumah orang tuanya. Awal Perjalanan: Dari Modal Kecil ke Mimpi BesarTakashi memulai perjalanannya di dunia trading setelah kehilangan pekerjaannya saat krisis keuangan Jepang di awal 2000-an. Dengan modal sekitar 1,6 juta yen (sekitar $13.000), ia mulai mencoba peruntungan di pasar saham Jepang. Tanpa mentor atau tim ahli, Takashi belajar secara otodidak—membaca, menganalisis grafik, dan mengamati perilaku pasar setiap harinya. Ia mengandalkan day trading, strategi jual beli saham dalam waktu singkat, untuk mendapatkan keuntungan harian. Fokus utamanya adalah pergerakan harga jangka pendek dan reaksi pasar terhadap berita. Dalam waktu singkat, gaya trading agresif dan disiplinnya mulai menunjukkan hasil. Prestasi Mengesankan: Dari Belasan Ribu Menjadi Jutaan Dalam waktu kurang dari 8 tahun, Takashi berhasil mengubah modal kecilnya menjadi lebih dari 1,6 miliar yen atau sekitar $15 juta. Kisah ini bukan hanya tentang uang, tapi juga tentang dedikasi, kontrol emosi, dan manajemen risiko yang disiplin. Salah satu momen yang paling dikenang dalam karier Takashi adalah saat ia mendapat untung besar dari insiden Livedoor pada 2006. Ketika banyak investor panik dan pasar terguncang, Takashi melihat peluang. Ia membeli saham yang undervalued saat harga jatuh dan menjualnya saat pasar pulih—strategi berani yang berbuah manis. Gaya Hidup Sederhana dan Filosofi HidupMeski menjadi miliuner, Takashi tetap hidup sederhana. Ia masih tinggal di rumah orang tuanya, makan dengan biaya murah, dan memakai pakaian biasa. Ia percaya bahwa kesederhanaan adalah kunci menjaga fokus dan kestabilan mental dalam dunia trading yang penuh tekanan. Ia juga menekankan pentingnya psikologi dalam trading. Menurutnya, keserakahan dan ketakutan adalah musuh utama trader. Ia melatih diri untuk tetap tenang dalam tekanan, dan itulah yang membedakannya dari banyak trader lain yang cepat menyerah saat rugi. Pelajaran dari Takashi Kotegawa Mulai dari kecil bukan penghalang untuk meraih besar. Disiplin dan kontrol emosi jauh lebih penting daripada sekadar analisis teknikal. Peluang besar sering datang saat krisis, bukan saat pasar tenang. Gaya hidup sederhana membantu menjaga fokus dan menghindari godaan yang merugikan. Konsistensi jangka panjang lebih berharga daripada keuntungan sesaat.   Penutup Kisah Takashi Kotegawa menjadi inspirasi besar, terutama bagi para trader rumahan yang merasa kecil di tengah gemerlapnya dunia finansial global. Ia membuktikan bahwa dengan pengetahuan, strategi, dan mental yang kuat, siapa pun bisa meraih sukses—bahkan dari balik layar komputer di kamar sendiri.

Artikel, Investasi, Saham

Profil Greg Abel Calon Penerus Warren Buffet di Berkshire Hathaway

Nama Warren Buffett sudah lama identik dengan kejayaan Berkshire Hathaway, salah satu perusahaan investasi terbesar di dunia. Namun, seiring bertambahnya usia sang legenda—yang kini telah memasuki usia 90-an tahun—pertanyaan mengenai siapa yang akan menggantikannya sebagai pemimpin perusahaan menjadi semakin relevan. Jawabannya? Greg Abel, tangan kanan Buffett yang digadang-gadang menjadi suksesor utama. Calon CEO baru Berkshire Hathaway, Greg Abel. Gantikan Warren Buffett. (Dok Bloomberg) Siapa Greg Abel ? Gregory Edward Abel lahir pada 1 Juni 1962 di Edmonton, Alberta, Kanada. Ia adalah lulusan University of Alberta dan memulai karier di dunia keuangan melalui PricewaterhouseCoopers sebelum akhirnya meniti jejak panjang di sektor energi. Pada tahun 1992, ia bergabung dengan MidAmerican Energy, perusahaan energi yang kemudian diakuisisi oleh Berkshire Hathaway. Selama bertahun-tahun, Abel menunjukkan kapasitas kepemimpinan yang kuat dan kejelian bisnis yang tajam. Ia naik ke posisi CEO di MidAmerican (yang kemudian berganti nama menjadi Berkshire Hathaway Energy), dan berhasil mengembangkan perusahaan energi tersebut menjadi salah satu unit bisnis paling menguntungkan di bawah payung Berkshire. Warren Buffett sangat menghargai gaya manajemen Abel yang konservatif namun efektif. Dalam berbagai kesempatan, Buffett memuji dedikasi dan integritas Abel. Pada tahun 2018, Abel diangkat sebagai Vice Chairman untuk operasi non-asuransi Berkshire Hathaway, posisi yang membuatnya langsung berada di bawah Buffett. Keputusan ini memperjelas arah suksesi perusahaan. Buffett sendiri pernah berkata, “The directors are in agreement that if something were to happen to me tonight, it would be Greg who’d take over tomorrow morning.” Hal ini menunjukkan betapa besar kepercayaan Buffett dan dewan direksi terhadap Greg Abel. Mewarisi posisi Warren Buffett bukanlah hal mudah. Greg Abel harus menjaga kepercayaan investor global, mempertahankan kinerja berbagai unit bisnis Berkshire, dan tetap menjaga filosofi investasi yang telah menjadi DNA perusahaan. Tantangan lain termasuk era teknologi yang semakin mendominasi pasar, kebutuhan akan keberlanjutan, serta tekanan dari investor aktivis. Namun, dengan pengalaman puluhan tahun di dalam Berkshire, rekam jejak yang solid, dan pengakuan langsung dari Buffett, Greg Abel dianggap sebagai sosok paling layak untuk memimpin Berkshire Hathaway memasuki babak baru.

Artikel, Investasi, Reksadana, Saham

Pernah Dengar Istilah Cost Basis dalam Investasi? Ini Penjelasannya

Bagi kamu yang mulai aktif berinvestasi, terutama di instrumen seperti saham, reksa dana, atau aset digital, mungkin pernah mendengar istilah “cost basis”. Meski terdengar teknis, memahami istilah ini sangat penting agar kamu bisa menghitung keuntungan investasi dengan tepat dan membuat keputusan finansial yang lebih bijak. Apa itu Cost Basis ? Cost basis atau dasar biaya adalah nilai awal dari suatu aset investasi yang kamu beli. Nilai ini mencakup harga beli aset ditambah dengan biaya tambahan seperti komisi broker, pajak, atau biaya transaksi lainnya. Dengan kata lain, cost basis adalah jumlah total uang yang kamu keluarkan untuk memiliki suatu aset. Mengapa Cost Basis Penting ? Mengetahui cost basis sangat penting karena digunakan untuk: Menghitung capital gain atau kerugian.Ketika kamu menjual aset, selisih antara harga jual dan cost basis adalah keuntungan (gain) atau kerugian (loss) investasimu. Pelaporan pajak.Di beberapa negara, termasuk Indonesia, keuntungan dari penjualan saham atau aset lainnya dikenakan pajak. Untuk menghitung besaran pajak yang adil, kamu harus tahu berapa cost basis-nya. Contoh sederhana  Bayangkan kamu membeli 100 lembar saham seharga Rp1.000 per lembar, dan membayar komisi sebesar Rp50.000. Total pembelian = 100 × Rp1.000 = Rp100.000 Tambah komisi = Rp50.000 Cost basis total = Rp150.000 Jika suatu saat kamu menjual saham tersebut seharga Rp1.500 per lembar, maka: Total hasil jual = 100 × Rp1.500 = Rp150.000 Keuntungan bersih = Rp150.000 – Rp150.000 = Rp0 (tanpa keuntungan karena biaya awal tinggi) Jenis – jenis cost basis  Dalam praktik investasi, ada beberapa metode untuk menghitung cost basis, terutama jika kamu membeli aset yang sama lebih dari sekali: Average Cost Method (Metode Rata-Rata)Menghitung rata-rata dari seluruh harga beli aset. FIFO (First In, First Out)Mengasumsikan aset yang pertama dibeli adalah yang pertama dijual. LIFO (Last In, First Out)Mengasumsikan aset yang terakhir dibeli adalah yang pertama dijual (jarang digunakan dalam pasar modal Indonesia). Kesimpulan Cost basis bukan sekadar angka. Ini adalah fondasi dari strategi keuangan yang sehat. Dengan memahami dan mencatat cost basis setiap kali berinvestasi, kamu bisa: Mengetahui performa investasi secara akurat Membuat perencanaan pajak yang efisien Menghindari kesalahan dalam menghitung keuntungan atau kerugian Jadi, mulai sekarang, jangan remehkan istilah ini. Catat dengan baik setiap pembelian investasi yang kamu lakukan, dan pastikan kamu tahu berapa cost basis-nya. Dengan begitu, keputusan investasimu akan jauh lebih terukur dan cerdas.

Artikel, Cryptocurrency, Investasi, Saham

Mengenal Logical Fallacy yang Sering Terjadi dalam Berinvestasi

Dalam dunia investasi, keputusan yang diambil seharusnya didasarkan pada data, analisis, dan pertimbangan rasional. Namun pada kenyataannya, banyak investor – baik pemula maupun berpengalaman – sering kali terjebak dalam kesalahan berpikir atau logical fallacy. Logical fallacy adalah pola berpikir yang tampak logis tapi sebenarnya menyesatkan. Jika tidak disadari, kesalahan logika ini bisa berdampak buruk pada keputusan investasi dan bahkan menyebabkan kerugian finansial yang besar. Ilustrasi gambar dari istock Adakalanya kita ingin memenangkan perdebatan dengan telak dan tanpa disadari telah mengatakan hal-hal yang personal tentang lawan. Dalam berinvestasi juga, kita merasa apa yang kita pilih adalah yang paling benar, hingga dalam situasi yang terbalik, kita tetap merasa membenarkan pilihan tersebut walaupun kenyataannya salah. Berikut ini beberapa jenis logical fallacy yang paling sering terjadi dalam aktivitas berinvestasi: 1. Gambler’s Fallacy (Kekeliruan Penjudi) Investor menganggap bahwa setelah sebuah aset turun selama beberapa waktu, maka “sudah waktunya” naik kembali. Contoh:“Saham ini sudah turun terus selama seminggu. Besok pasti naik.”→ Padahal, pergerakan harga saham tidak bergantung pada tren masa lalu, melainkan pada kondisi pasar dan faktor fundamental. 2. Sunk Cost Fallacy (Kesalahan Biaya Hangus) Ketika seseorang tetap mempertahankan investasinya karena merasa sudah terlanjur rugi, padahal seharusnya investasi tersebut dihentikan. Contoh:“Saya sudah rugi 10 juta, kalau saya jual sekarang berarti rugi beneran.”→ Padahal, mempertahankan investasi buruk hanya karena sudah rugi malah bisa memperbesar kerugian. 3. Herd Mentality (Ikut-ikutan Mayoritas) Banyak investor terbawa arus dan melakukan apa yang orang lain lakukan tanpa riset atau analisis sendiri. Contoh:“Banyak yang beli saham ini, pasti bagus!”→ Padahal, popularitas tidak selalu berarti kualitas. Tren pasar bisa berubah cepat. 4. Confirmation Bias (Bias Konfirmasi) Mencari informasi yang hanya mendukung keyakinan pribadi, dan mengabaikan informasi yang bertentangan. Contoh:“Menurut saya saham ini bagus, jadi saya hanya baca artikel yang mendukung.”→ Ini bisa membuat penilaian menjadi tidak objektif dan menutup mata terhadap risiko yang nyata. 5. Overconfidence Bias (Terlalu Percaya Diri) Merasa yakin bahwa keputusan yang diambil pasti benar, sering kali karena pengalaman untung sebelumnya. Contoh:“Saya pernah untung besar di saham ini, saya yakin akan terulang.”→ Pasar bersifat dinamis, dan keberhasilan masa lalu tidak menjamin keberhasilan masa depan. 6. Recency Bias (Bias Kejadian Terbaru) Menganggap bahwa kejadian yang baru terjadi akan terus berlangsung di masa depan. Contoh:“Dalam 2 minggu ini harga terus naik, pasti masih akan naik.”→ Keputusan investasi tidak boleh hanya berdasarkan tren jangka pendek, karena bisa menyesatkan. 7. Anchoring Bias (Bias Patokan) Mengandalkan harga atau data awal sebagai patokan tetap, meskipun sudah tidak relevan. Contoh:“Saham ini dulu pernah 20.000, sekarang 10.000 berarti murah.”→ Harga murah harus dibandingkan dengan kondisi fundamental saat ini, bukan sekadar masa lalu. Kesimpulan  Logical fallacy dalam investasi bisa menggiring investor pada keputusan yang tidak logis, bahkan merugikan. Menyadari adanya kesalahan berpikir ini adalah langkah awal untuk menjadi investor yang lebih bijak dan rasional. Alih-alih mengikuti emosi atau asumsi yang menyesatkan, penting untuk selalu kembali ke data, riset, dan logika yang sehat. Dengan menghindari fallacy dalam berpikir, kamu bisa mengambil keputusan investasi yang lebih matang dan terukur — dan itu adalah kunci utama menuju kesuksesan finansial jangka panjang.

Artikel, Investasi, Saham

Apa Itu Standar Deviasi dalam Investasi Saham ?

Dalam dunia investasi, memahami risiko adalah kunci untuk membuat keputusan yang bijak. Salah satu cara paling umum dan penting untuk mengukur risiko adalah melalui standar deviasi. Tapi, apa sebenarnya standar deviasi itu dan mengapa penting bagi investor? Ilustrasi Standar Deviasi  Standar deviasi adalah ukuran statistik yang menunjukkan seberapa besar fluktuasi (variabilitas) return (keuntungan) suatu investasi dari rata-ratanya. Dalam konteks investasi, standar deviasi membantu mengukur tingkat risiko atau ketidakpastian dari hasil investasi tersebut. Jika return suatu investasi memiliki standar deviasi yang tinggi, artinya nilai investasinya sering berubah secara ekstrem, baik naik maupun turun. Sebaliknya, jika standar deviasi rendah, maka fluktuasi return-nya relatif stabil dan konsisten. Misalnya, dua saham memiliki rata-rata return tahunan 10%: Saham A memiliki standar deviasi 3% → artinya return biasanya bergerak antara 7% hingga 13%. Saham B memiliki standar deviasi 15% → artinya return bisa bergerak liar antara -5% hingga 25%. Dari sini, kita tahu bahwa Saham B lebih berisiko meskipun rata-rata keuntungannya sama dengan Saham A. Mengapa standar deviasi penting dalam investasi ? Mengukur Risiko Investasi:Investor bisa membandingkan risiko antar aset, misalnya saham vs obligasi. Menentukan Toleransi Risiko:Investor konservatif cenderung memilih aset dengan standar deviasi rendah. Sementara investor agresif bisa lebih toleran terhadap volatilitas tinggi. Membentuk Portofolio Seimbang:Dengan mengetahui standar deviasi masing-masing aset, investor bisa mengkombinasikan aset yang saling melengkapi (diversifikasi) agar risiko total portofolio lebih terkendali. Hubungan dengan Diversifikasi ? Menambahkan berbagai jenis aset dalam portofolio (diversifikasi) dapat mengurangi standar deviasi total portofolio, selama aset-aset tersebut tidak berkorelasi sempurna. Grafik hubungan antara jumlah saham dalam portofolio dengan standar deviasi menunjukkan bahwa risiko bisa diturunkan secara signifikan hingga titik tertentu (sekitar 15–20 saham). Kesimpulan Standar deviasi dalam investasi bukan hanya angka statistik, tetapi merupakan alat penting untuk memahami dan mengelola risiko. Dengan memahami standar deviasi, investor dapat membuat keputusan yang lebih tepat sesuai dengan tujuan keuangan dan profil risiko mereka. Ingat, return yang tinggi sering kali datang bersama risiko yang tinggi, dan standar deviasi membantu Anda melihat sejauh mana risiko itu dapat diterima.

Artikel, Investasi, Saham

Greater Fool Theory: Ketika Harga Tidak Lagi Mencerminkan Nilai

Dalam dunia investasi, tidak semua pembelian aset dilakukan berdasarkan analisis fundamental atau nilai intrinsik suatu aset. Salah satu pendekatan yang sering kali memicu gelembung spekulatif di pasar adalah konsep Greater Fool Theory atau Teori Orang Bodoh yang Lebih Besar. Teori ini menjadi sorotan ketika harga aset naik jauh melampaui nilai wajarnya karena dorongan spekulasi dan ekspektasi akan adanya pembeli selanjutnya yang bersedia membeli dengan harga lebih tinggi. Illustrative art created by the author PendahuluanDalam dunia investasi, tidak semua pembelian aset dilakukan berdasarkan analisis fundamental atau nilai intrinsik suatu aset. Salah satu pendekatan yang sering kali memicu gelembung spekulatif di pasar adalah konsep Greater Fool Theory atau Teori Orang Bodoh yang Lebih Besar. Teori ini menjadi sorotan ketika harga aset naik jauh melampaui nilai wajarnya karena dorongan spekulasi dan ekspektasi akan adanya pembeli selanjutnya yang bersedia membeli dengan harga lebih tinggi. Apa Itu Greater Fool Theory?Greater Fool Theory adalah gagasan bahwa seseorang dapat membeli aset yang dinilai terlalu mahal (overvalued), dan tetap mendapat untung selama ada “orang bodoh yang lebih besar” yang bersedia membeli aset tersebut dengan harga yang lebih tinggi. Dalam konteks ini, “kebodohan” bukan berarti bodoh secara intelektual, melainkan menggambarkan perilaku irasional dalam mengejar keuntungan jangka pendek tanpa memperhatikan risiko jangka panjang. Contoh dalam Dunia NyataTeori ini sering terlihat dalam gelembung spekulatif seperti dot-com bubble di akhir 1990-an, gelembung properti tahun 2008, hingga fenomena NFT dan memecoin pada tahun-tahun terakhir. Investor membeli aset bukan karena percaya pada nilai jangka panjangnya, tetapi karena yakin akan ada orang lain yang lebih optimis dan kurang rasional untuk membeli aset tersebut dengan harga lebih tinggi. Risiko dan DampaknyaPendekatan ini sangat berisiko. Ketika pasar mulai sadar bahwa harga tidak mencerminkan nilai nyata, kepercayaan akan runtuh, dan para “greater fool” akan kesulitan menjual asetnya. Akibatnya, harga jatuh tajam dan banyak investor merugi. Teori ini tidak dapat bertahan dalam jangka panjang karena pada akhirnya, “orang bodoh terakhir” akan terjebak dengan aset yang kehilangan nilainya. Mengapa Teori Ini Terus Terjadi?Faktor psikologis seperti keserakahan, FOMO (fear of missing out), dan euforia pasar sering mendorong investor untuk mengabaikan logika dasar investasi. Dalam situasi ini, banyak orang lebih fokus pada keuntungan cepat daripada risiko yang mungkin terjadi. Media sosial, rumor pasar, dan tren sesaat juga mempercepat penyebaran sentimen irasional ini. KesimpulanGreater Fool Theory mengingatkan kita bahwa tidak semua kenaikan harga mencerminkan nilai sebenarnya. Sebagai investor bijak, penting untuk menghindari jebakan spekulatif dan tetap berpegang pada prinsip investasi yang solid, seperti analisis fundamental dan manajemen risiko. Meskipun menggoda, menjadi bagian dari lingkaran “greater fool” bisa membawa kerugian besar jika pasar berbalik arah.

Artikel, Investasi, Management, Saham

Apa Itu Buy with the Rumor, Sell with the News? Investor Wajib Tahu

Dalam dunia investasi dan perdagangan saham, ada banyak strategi yang digunakan oleh pelaku pasar untuk memaksimalkan keuntungan. Salah satu prinsip yang cukup populer, meski sering disalahartikan, adalah istilah “Buy with the rumor, sell with the news” atau dalam bahasa Indonesia, “Beli saat rumor, jual saat berita keluar.” Lalu, apa sebenarnya makna di balik ungkapan ini? shutterstock.com Image Pengertian “Buy with the Rumor, Sell with the News” Secara sederhana, prinsip ini menggambarkan perilaku pasar yang didorong oleh ekspektasi dan sentimen, bukan hanya oleh fakta yang sudah terjadi. Ketika sebuah rumor atau kabar yang belum dikonfirmasi beredar (misalnya tentang potensi merger, peluncuran produk baru, atau laporan keuangan yang kuat), banyak investor mulai membeli saham terkait karena mereka berharap nilai saham tersebut akan naik begitu kabar itu menjadi kenyataan. Namun, begitu berita tersebut benar-benar diumumkan ke publik, harga saham yang sebelumnya telah naik sering kali mengalami koreksi atau bahkan penurunan. Mengapa? Karena harapan pasar sudah “dipricing in” — artinya ekspektasi positif sudah tercermin dalam harga saham sebelum berita itu resmi keluar. Akibatnya, setelah berita dirilis, banyak investor justru mengambil untung (profit taking), yang mendorong harga saham turun. Contoh KasusBayangkan sebuah perusahaan teknologi besar dikabarkan akan meluncurkan inovasi produk baru. Saat rumor ini menyebar: Para trader dan investor mulai membeli saham perusahaan itu, mendorong harga naik. Ketika produk benar-benar diluncurkan dan berita resmi keluar, harga saham malah turun karena: Produk tidak memenuhi ekspektasi setinggi rumor. Investor yang sudah untung sejak awal rumor memutuskan menjual untuk mengunci keuntungan. Pasar merasa tidak ada lagi kejutan baru yang bisa mendorong harga lebih tinggi.   Mengapa Ini Terjadi?Ada beberapa alasan psikologis dan teknis di balik fenomena ini: Ekspektasi Pasar: Harga saham mencerminkan harapan masa depan. Ketika rumor beredar, harapan tersebut mendorong permintaan. Realitas vs Harapan: Setelah berita nyata keluar, terkadang realitas tidak sebaik ekspektasi yang dibentuk oleh rumor. Profit Taking: Trader profesional sering menggunakan momen berita resmi untuk menjual dan merealisasikan keuntungan. Mekanisme “Sell the News”: Bahkan berita yang sebenarnya positif bisa menyebabkan penurunan harga jika pasar sudah mengantisipasinya sebelumnya.   Strategi Menghadapi Fenomena Ini Bagi investor, memahami prinsip ini sangat penting untuk mengelola risiko. Berikut beberapa tips: Jangan hanya membeli saham berdasarkan rumor tanpa analisis yang kuat. Waspadai potensi pembalikan harga setelah berita besar diumumkan. Gunakan manajemen risiko seperti stop-loss untuk melindungi modal. Jika memanfaatkan rumor, pastikan Anda juga punya rencana exit yang jelas begitu berita keluar.   Kesimpulan“Buy with the rumor, sell with the news” adalah gambaran klasik tentang bagaimana pasar bereaksi lebih terhadap ekspektasi daripada fakta aktual. Ini adalah pengingat bahwa dalam dunia investasi, emosi, sentimen, dan ekspektasi bisa memainkan peran yang lebih besar daripada realitas itu sendiri. Memahami dinamika ini dapat membantu investor membuat keputusan yang lebih rasional dan menghindari jebakan pasar berbasis euforia sesaat.

Artikel, Investasi, Saham

Sell In May and Go Away : Apa itu Sebenarnya?

Dalam dunia investasi saham, ada banyak pepatah atau prinsip lama yang sering dibicarakan para investor. Salah satu yang paling terkenal adalah “Sell in May and Go Away”. Tapi, apa sebenarnya maksud dari ungkapan ini? Apakah ini hanya mitos, atau ada fakta di baliknya? Mari kita bahas lebih dalam. Apa Itu “Sell In May and Go Away”? “Sell in May and Go Away” adalah sebuah strategi pasar saham yang berasal dari observasi historis bahwa performa pasar cenderung melemah pada periode Mei hingga Oktober, dibandingkan dengan November hingga April. Dengan kata lain, para investor disarankan untuk menjual saham mereka pada bulan Mei, dan “menghilang” dari pasar sampai akhir tahun, untuk menghindari potensi penurunan kinerja. Strategi ini terutama populer di pasar saham Amerika Serikat dan Eropa, tetapi belakangan ini konsepnya juga mulai diperbincangkan di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Apakah ” Sell in may and go away ” ? berlaku untuk pasar saham Indonesia ?? Meskipun fenomena sell in may and go away berasal dari luar negeri, tapi dampaknya juga seringkali dapat berimbas pada bursa saham di Indonesia. Pertanyaannya adalah seberapa besar pengaruh sentimen sell in may terhadap kinerja pasar saham Indonesia? Untuk mengetahui jawabannya, kita perlu mengecek terlebih dulu bagaimana kinerja historis IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) selama periode Mei – Oktober dalam beberapa tahun belakangan.  Setelah itu, kita dapat membandingkan jumlah periode dimana IHSG terbukti berkinerja buruk terhadap jumlah periode data keseluruhan untuk mengetahui seberapa akurat pengaruh sentimen sell in may and go away terhadap kinerja IHSG. Pada contoh ini, kami menggunakan data kinerja bulanan IHSG selama 20 tahun terakhir (2002 – 2021). Data ini menggunakan fitur Seasonality dari Stockbit. ( Fitur Seasonality Stockbit ) Setelah mengolah data di atas, kami mendapatkan hasil bahwa selama 20 tahun terakhir, ternyata hanya ada 7 kali saja dimana IHSG berkinerja buruk pada periode Mei – Oktober. Sisanya sebanyak 13 kali IHSG justru mampu membukukan kinerja positif, bahkan pada beberapa periode IHSG sempat menorehkan kinerja yang cukup impresif dengan tingkat pengembalian mencapai lebih dari 30%.  Kesimpulan Jika dihitung secara persentase, diperoleh tingkat akurasi “Sell in May and Go Away” di pasar saham Indonesia adalah sebesar 35%. Dengan kata lain, kita bisa menyimpulkan bahwa sentimen Sell in May and Go Away tidak begitu berpengaruh signifikan terhadap kinerja IHSG. “Sell in May and Go Away” adalah salah satu fenomena menarik dalam dunia investasi yang mencerminkan bagaimana psikologi dan pola musiman bisa mempengaruhi pasar. Namun, sebagai investor cerdas, kita perlu memahami bahwa strategi investasi yang baik adalah yang berdasarkan analisis mendalam, bukan hanya pada mitos atau pola masa lalu. Pasar saham adalah tentang kesabaran, konsistensi, dan keputusan rasional — bukan sekadar mengikuti pepatah lama.

Artikel, Investasi, Saham

Mengenal Price Earning Ratio ( PER ) dalam Investasi Saham

Dalam dunia investasi saham, salah satu indikator paling populer dan sering digunakan oleh investor untuk menilai kelayakan sebuah saham adalah Price Earning Ratio atau disingkat PER. Memahami konsep dan cara menghitung PER bisa membantu kita membuat keputusan investasi yang lebih cerdas dan terinformasi. Yuk, kita bahas satu per satu! Investopaper image Apa Itu Price Earning Ratio (PER)? Price Earning Ratio (PER) adalah rasio yang membandingkan harga saham sebuah perusahaan dengan laba bersih per saham (Earnings Per Share/EPS) perusahaan tersebut.Secara sederhana, PER menunjukkan berapa tahun dibutuhkan untuk mendapatkan kembali modal investasi kita jika laba perusahaan tetap konstan. Fungsi PER dalam Investasi Mengukur apakah harga saham terlalu mahal, terlalu murah, atau wajar. Membandingkan valuasi antar perusahaan dalam industri yang sama. Memberikan gambaran ekspektasi pasar terhadap pertumbuhan laba perusahaan ke depan.   Rumus Menghitung PER PER dapat dihitung dengan rumus sederhana berikut: Keterangan: Harga Saham = Harga pasar satu lembar saham. EPS = Laba bersih perusahaan dibagi jumlah saham yang beredar. Cara Mengitung EPS :  Contoh Perhitungan Misalkan: Harga saham PT XYZ = Rp 2.000 Laba bersih PT XYZ = Rp 100 miliar Jumlah saham beredar = 500 juta lembar Maka:   Selanjutnya Artinya, PER PT XYZ adalah 10. Ini menunjukkan bahwa dibutuhkan 10 tahun laba bersih perusahaan untuk mengembalikan harga saham saat ini, jika laba tetap konstan. Interpretasi Price Earning RatioPER Rendah: Bisa menandakan saham undervalued (murah) atau justru mengindikasikan masalah dalam perusahaan (misalnya pertumbuhan laba yang stagnan). PER Tinggi: Bisa menunjukkan bahwa pasar optimis terhadap pertumbuhan laba perusahaan di masa depan, namun juga bisa berarti saham overvalued (terlalu mahal). Catatan: PER sebaiknya tidak dilihat sendirian. Bandingkan PER perusahaan dengan: PER rata-rata industri sejenis. PER historis perusahaan itu sendiri. Kondisi pasar dan ekonomi secara umum.   Kapan PER Lebih Relevan Digunakan? PER lebih tepat digunakan untuk: Perusahaan yang sudah mapan dan memiliki laba stabil. Membandingkan saham-saham dalam industri yang mirip karakteristiknya. Investor yang mencari investasi jangka menengah hingga panjang.   Sebaliknya, PER kurang relevan untuk perusahaan baru, perusahaan yang masih merugi, atau bisnis dengan pendapatan sangat fluktuatif. KesimpulanPrice Earning Ratio adalah alat sederhana namun sangat berguna dalam menilai apakah sebuah saham layak dibeli atau tidak. Dengan memahami cara menghitung dan menginterpretasikan PER, kita bisa membuat keputusan investasi yang lebih objektif dan terhindar dari jebakan emosi pasar. Namun ingat, PER hanyalah salah satu dari banyak alat analisis. Selalu kombinasikan dengan indikator lain dan pertimbangkan aspek fundamental perusahaan secara menyeluruh sebelum mengambil keputusan investasi. Selamat berinvestasi cerdas!

Scroll to Top