Author name: Tim Edukator

Artikel, Cryptocurrency, Investasi, Psikologi, Saham

Herd Mentality dalam Investasi: Ketika Ikut-ikutan Bisa Merugikan

Dalam dunia investasi, pengambilan keputusan yang rasional dan berdasarkan analisis merupakan kunci utama untuk meminimalkan risiko dan memaksimalkan keuntungan. Namun, sering kali investor terjebak dalam perilaku psikologis yang dikenal sebagai herd mentality atau mentalitas kawanan. Herd mentality terjadi ketika seseorang mengikuti keputusan mayoritas tanpa mempertimbangkan data, logika, atau strategi pribadi. Dalam konteks investasi, hal ini biasanya ditandai dengan tindakan membeli atau menjual aset semata-mata karena melihat banyak orang lain melakukan hal yang sama, bukan karena memahami nilai atau potensi investasi tersebut. Salah satu contoh nyata dari herd mentality adalah fenomena Dogecoin pada tahun 2021. Aset kripto yang awalnya hanya dibuat sebagai lelucon ini mengalami lonjakan harga yang luar biasa setelah tokoh publik seperti Elon Musk menyebutnya di media sosial. Banyak investor pemula ikut membeli Dogecoin karena takut ketinggalan momen keuntungan (FOMO – Fear of Missing Out), tanpa mempelajari terlebih dahulu fundamental dari aset tersebut. Ketika hype mereda, harga Dogecoin pun jatuh dan menyebabkan kerugian besar bagi mereka yang membeli di harga puncak. Baca juga : https://investhink.id/recency-bias-dalam-trading-saat-pengalaman-terbaru-menyesatkan-keputusan/ Contoh lainnya adalah lonjakan harga saham GameStop (GME) yang didorong oleh komunitas Reddit. Ribuan orang membeli saham GME sebagai bentuk perlawanan terhadap investor institusi yang melakukan short selling. Akibatnya, harga saham GME melonjak tajam, namun kemudian turun drastis. Banyak investor individu mengalami kerugian karena ikut membeli tanpa memahami risiko yang ada. Perilaku herd mentality dalam investasi bisa sangat berbahaya karena mendorong keputusan yang emosional, bukan rasional. Ini bisa menciptakan gelembung harga (bubble) yang akhirnya pecah dan menimbulkan kerugian besar. Investor yang terbawa arus tren sering kali hanya mengikuti kerumunan tanpa memiliki pemahaman yang cukup tentang aset yang dibelinya. Untuk menghindari dampak negatif dari herd mentality, investor perlu membangun kebiasaan untuk melakukan analisis sendiri, memiliki tujuan investasi yang jelas, serta mampu menahan diri ketika pasar sedang euforia. Diversifikasi portofolio juga penting agar tidak terlalu bergantung pada satu jenis aset yang sedang tren. Kesimpulannya, herd mentality bisa terlihat menggoda karena menjanjikan keuntungan cepat dengan mengikuti mayoritas, namun dalam kenyataannya bisa berujung pada keputusan yang merugikan. Investor yang sukses bukanlah mereka yang selalu mengikuti keramaian, tetapi mereka yang mampu berpikir mandiri, sabar, dan disiplin dalam menjalankan strategi investasinya.     

Artikel, Investasi, Psikologi, Saham

Self-Serving Bias dalam Investasi: Musuh Dalam Diri Sendiri

Dalam dunia investasi, tidak hanya analisis pasar dan strategi keuangan yang berperan penting, tetapi juga faktor psikologis. Salah satu bias psikologis yang sering terjadi tanpa disadari adalah self-serving bias. Self-serving bias adalah kecenderungan seseorang untuk menganggap keberhasilan sebagai hasil dari kemampuan pribadi, sementara kegagalan disalahkan pada faktor luar seperti kondisi pasar atau nasihat orang lain. Dalam konteks investasi, bias ini dapat menjadi jebakan mental yang membuat investor merasa terlalu percaya diri dan sulit belajar dari kesalahan. Sebagai contoh, bayangkan seorang investor bernama Dika membeli saham perusahaan teknologi karena membaca tren pasar yang sedang naik. Tiga bulan kemudian, harga saham tersebut melonjak hingga 50%, dan Dika merasa ini adalah bukti bahwa dia cerdas dan berbakat dalam memilih saham. Merasa percaya diri, ia mulai berinvestasi lebih agresif di saham lain tanpa riset mendalam. Namun sayangnya, saham-saham barunya justru mengalami penurunan nilai. Alih-alih mengevaluasi keputusan investasinya, Dika menyalahkan faktor eksternal seperti kondisi ekonomi global atau rekomendasi temannya. Ini adalah bentuk nyata dari self-serving bias, di mana seseorang gagal melihat kontribusi kesalahan pribadinya dalam hasil buruk yang terjadi. Baca juga : https://investhink.id/illusion-of-control-dalam-investasi-mengapa-kita-terkadang-merasa-memiliki-kendali-lebih-dari-yang-sebenarnya/ Self-serving bias dapat berdampak negatif dalam jangka panjang. Bias ini membuat investor cenderung mengulangi kesalahan yang sama karena tidak pernah benar-benar mengevaluasi keputusan dengan objektif. Investor bisa menjadi terlalu percaya diri (overconfident), mengabaikan risiko, dan akhirnya mengambil keputusan yang tidak rasional. Untuk mengatasi hal ini, penting bagi investor untuk membuat catatan tentang alasan di balik setiap keputusan investasi, dan mengevaluasi hasilnya secara jujur—apakah keputusan tersebut benar-benar berdasarkan analisis yang tepat atau hanya keberuntungan semata. Selain itu, memiliki mentalitas pembelajar sangat penting dalam dunia investasi. Investor yang sukses bukanlah mereka yang selalu benar, tetapi mereka yang mampu belajar dari kesalahan dan memperbaiki strateginya dari waktu ke waktu. Menyadari adanya self-serving bias dalam diri sendiri adalah langkah awal untuk menjadi investor yang lebih bijak dan rasional.

Artikel, Cryptocurrency, Investasi, Psikologi, Saham

Hindsight Bias dalam Investasi : Hampir Semua Orang Mengalaminya

Dalam dunia investasi, banyak orang sering berkata, “Harusnya dulu aku beli saham itu, jelas-jelas bakal naik!” atau “Sudah kelihatan dari awal kalau harga properti bakal naik!” Pernyataan seperti ini merupakan contoh dari hindsight bias. Hindsight bias adalah kecenderungan seseorang untuk percaya bahwa mereka bisa memprediksi hasil suatu peristiwa setelah peristiwa itu terjadi. Padahal kenyataannya, prediksi itu baru terasa “jelas” setelah kita tahu hasil akhirnya. Bias ini sering muncul setelah kita melihat keberhasilan atau kegagalan investasi. Misalnya, setelah saham teknologi tertentu naik drastis, seseorang merasa bahwa kenaikan itu sudah bisa ditebak sejak awal. Namun jika kita kembali ke waktu sebelum harga naik, sebenarnya banyak ketidakpastian, dan keputusan untuk membeli belum tentu semudah yang dibayangkan. Kita hanya merasa “tahu” karena hasilnya sudah jelas sekarang. Baca juga : https://investhink.id/sunk-cost-fallacy-ketika-kesetiaan-justru-merugikan-dalam-trading/ Hindsight bias bisa menjadi jebakan dalam berpikir. Ketika kita merasa keputusan investasi harusnya bisa lebih baik di masa lalu, kita cenderung menyalahkan diri sendiri atau malah merasa lebih pintar dari yang sebenarnya. Hal ini bisa membuat kita kehilangan pembelajaran penting dari proses investasi itu sendiri. Padahal, dalam dunia investasi, hasil akhir tidak selalu mencerminkan kualitas keputusan. Contoh lainnya, seseorang yang melewatkan membeli Bitcoin di tahun 2015 mungkin merasa bodoh di tahun 2021 karena tidak ikut untung besar. Namun di tahun 2015, banyak orang masih ragu dan tidak yakin terhadap masa depan Bitcoin. Keputusan untuk tidak membeli saat itu sangat masuk akal bagi sebagian orang, berdasarkan informasi dan risiko yang tersedia saat itu. Hindsight bias menghapus pertimbangan realistis yang terjadi di masa lalu. Efek dari bias ini bisa sangat merugikan. Salah satunya adalah overconfidence, yaitu rasa percaya diri berlebihan dalam mengambil keputusan investasi berikutnya. Karena merasa bisa menebak pasar, seseorang bisa mengambil risiko besar tanpa analisa yang mendalam, dan akhirnya bisa mengalami kerugian. Selain itu, bias ini juga bisa membuat kita terlalu keras terhadap diri sendiri, merasa menyesal terus-menerus, dan sulit move on dari keputusan masa lalu. Untuk menghindari hindsight bias, cobalah untuk mencatat alasan dari setiap keputusan investasi yang diambil. Dengan begitu, kita bisa mengevaluasi prosesnya secara objektif, bukan hanya menilai berdasarkan hasil. Penting juga untuk menerima bahwa investasi selalu penuh dengan ketidakpastian. Belajar dari masa lalu itu penting, tapi menganggap diri “sudah tahu sejak awal” hanya akan menghambat perkembangan kita sebagai investor.

Investasi, Psikologi, Saham

Recency Bias dalam Trading: Saat Pengalaman Terbaru Menyesatkan Keputusan

Dalam dunia trading, salah satu tantangan terbesar bukan hanya soal menganalisis grafik atau memahami berita ekonomi, tetapi juga bagaimana mengendalikan psikologi diri sendiri. Salah satu jebakan psikologis yang sering menjerat trader adalah recency bias, yaitu kecenderungan untuk lebih mempercayai informasi atau peristiwa yang baru saja terjadi, dan menganggapnya sebagai dasar utama dalam mengambil keputusan. Bias ini membuat kita lupa bahwa pasar bergerak dalam jangka panjang dan tidak selalu mencerminkan pola yang sama setiap saat. Sebagai contoh, bayangkan seorang trader pemula yang baru saja melihat harga saham tertentu naik selama tiga hari berturut-turut. Karena merasa yakin tren tersebut akan terus berlanjut, ia langsung membeli saham itu tanpa analisis lebih lanjut. Namun sayangnya, keesokan harinya harga saham justru turun tajam karena rilis laporan keuangan yang buruk—informasi yang sebenarnya sudah bisa diakses jika ia mau menggali lebih dalam. Ini adalah bentuk nyata dari recency bias: terlalu fokus pada peristiwa terbaru (kenaikan harga tiga hari terakhir) tanpa memperhitungkan faktor lain yang lebih besar dan relevan. Di sisi lain, seorang trader yang baru saja mengalami kerugian besar dalam dua transaksi terakhir bisa saja menjadi terlalu takut dan memilih untuk tidak mengambil peluang berikutnya, padahal sinyal pasar saat itu sangat mendukung untuk entry. Karena trauma dari kerugian terbaru, ia gagal mengambil keputusan rasional. Baca juga : https://investhink.id/illusion-of-control-dalam-investasi-mengapa-kita-terkadang-merasa-memiliki-kendali-lebih-dari-yang-sebenarnya/ Recency bias sering membuat trader terjebak dalam pola pikir jangka pendek, mengabaikan data historis, dan terlalu bergantung pada emosi. Padahal dalam trading, konsistensi dan disiplin terhadap strategi jangka panjang jauh lebih penting daripada reaksi sesaat. Untuk menghindari bias ini, penting bagi trader untuk membiasakan diri melihat data dalam konteks yang lebih luas, seperti grafik mingguan atau bulanan, bukan hanya pergerakan harian. Selain itu, mencatat setiap keputusan trading dalam jurnal bisa membantu melihat pola pikir kita secara lebih objektif. Ketika kita mulai menyadari bahwa keputusan yang kita ambil lebih karena “feeling” akibat pengalaman terbaru, maka itulah saatnya untuk berhenti sejenak dan mengevaluasi ulang pendekatan kita. Singkatnya, recency bias adalah jebakan halus yang sering terjadi tanpa disadari. Ia membuat kita percaya bahwa apa yang baru saja terjadi adalah petunjuk pasti dari masa depan, padahal pasar sangat dinamis dan seringkali tidak bisa ditebak hanya dari satu atau dua peristiwa terbaru. Dengan menyadari keberadaan bias ini, seorang trader bisa lebih berhati-hati, lebih rasional, dan lebih siap dalam menghadapi segala kondisi pasar.

Artikel, Investasi, Psikologi, Saham

Illusion of Control dalam Investasi: Mengapa Kita Terkadang Merasa Memiliki Kendali Lebih dari yang Sebenarnya?

Illusion of control adalah fenomena psikologis di mana seseorang merasa memiliki lebih banyak kendali terhadap suatu situasi daripada yang sebenarnya. Dalam konteks investasi, hal ini terjadi ketika seorang investor merasa bahwa dengan melakukan analisis tertentu, memilih saham, atau mengikuti tren pasar, mereka bisa mengontrol hasil dari investasi mereka. Namun, pada kenyataannya, banyak faktor eksternal yang tak terduga yang mempengaruhi pasar. Misalnya, seorang investor mungkin merasa yakin memilih saham teknologi tertentu karena laporan laba yang bagus, dan menganggap bahwa saham tersebut pasti akan naik. Mereka merasa bahwa pilihan tersebut akan memberikan keuntungan besar, namun pasar bisa dipengaruhi oleh faktor global yang tak bisa mereka prediksi, seperti perubahan kebijakan pemerintah atau kondisi ekonomi internasional yang buruk. Fenomena ini sering terjadi karena beberapa faktor psikologis, seperti overconfidence atau kepercayaan diri yang berlebihan. Investor cenderung merasa bahwa pengetahuan atau intuisi mereka lebih akurat daripada pasar secara keseluruhan. Misalnya, seorang investor yang mengikuti tren pasar tertentu, seperti saham perusahaan yang sedang populer, merasa bahwa mereka tahu arah pasar dengan lebih baik daripada orang lain. Mereka juga sering mencari pola-pola dalam data yang sebenarnya tidak ada, atau mereka hanya memperhatikan informasi yang mendukung keputusan mereka dan mengabaikan hal-hal yang bisa merugikan keputusan tersebut, yang dikenal dengan bias konfirmasi. Dampak dari illusion of control bisa sangat merugikan. Investor yang terjebak dalam pemikiran ini cenderung membuat keputusan investasi yang terlalu berisiko, seperti berinvestasi dalam saham yang tidak cukup terdiversifikasi atau terlalu sering melakukan transaksi dengan harapan dapat mengalahkan pasar. Sebagai contoh, seorang investor yang percaya pada kemampuan mereka untuk memilih saham-saham dengan potensi tinggi bisa melakukan banyak transaksi saham dalam waktu singkat, berharap meraih keuntungan besar. Namun, ini justru bisa menyebabkan kerugian karena mereka tidak mengantisipasi risiko yang datang dari volatilitas pasar yang tidak terkendali. Untuk menghindari jebakan ini, penting bagi investor untuk memiliki kesadaran diri tentang batasan mereka dalam mengendalikan pasar. Mereka harus belajar untuk menerima bahwa banyak faktor yang tidak bisa mereka kontrol dan memperlakukan investasi sebagai proses jangka panjang. Misalnya, alih-alih terlalu fokus pada saham individu yang berisiko, seorang investor yang bijaksana akan berfokus pada diversifikasi portofolio, dengan membeli berbagai jenis saham atau instrumen investasi lainnya, untuk menyebarkan risiko. Baca juga : https://investhink.id/anchoring-effect-dalam-investasi-saham-ketika-angka-pertama-menentukan-segalanya/ Pendekatan ini membantu mereka melepaskan ilusi bahwa mereka bisa mengontrol hasil pasar dan meminimalisir kerugian yang tidak perlu. Seiring waktu, pendekatan yang realistis dan berbasis pada strategi jangka panjang ini akan membawa hasil yang lebih stabil, daripada terlalu mengandalkan keberuntungan atau taktik spekulatif yang bisa berisiko tinggi.

Investasi, Psikologi, Saham

Sunk Cost Fallacy: Ketika Kesetiaan Justru Merugikan dalam Trading

Bayangkan Anda adalah direktur sebuah perusahaan pembuat kapal. Anda diberi dana sebesar 100 juta USD untuk mengembangkan kapal pesiar yang mewah dan hemat energi. Proyek ini sudah berjalan dan 40% dana telah digunakan. Namun, pesaing Anda tiba-tiba meluncurkan produk serupa yang jauh lebih cepat, hemat bahan bakar, dan sudah lebih dulu masuk pasar.  Menurut perhitungan tim anda, sangat susah mengalahkan Kapal pesiar tersebut mengingat Kapal pesiar tersebut lebih baik dari segala aspek. Pertanyaanya. Maukah anda menghabiskan sisa dana anda untuk melanjutkan pembuatan pesawat siluman anda? Meski begitu, sebagian besar orang dalam posisi Anda justru memilih untuk tetap melanjutkan proyek dan menghabiskan sisa dana yang ada. Alasannya sederhana: sudah terlanjur keluar biaya, tenaga, dan waktu. Mereka tidak ingin semua itu menjadi sia-sia. Inilah yang disebut dengan Sunk Cost Fallacy, sebuah bias psikologis yang membuat seseorang sulit melepaskan sesuatu yang sudah diinvestasikan, walaupun jelas-jelas merugikan. Baca juga : https://investhink.id/anchoring-effect-dalam-investasi-saham-ketika-angka-pertama-menentukan-segalanya/ Lalu, mari kita ubah sedikit skenario. Kali ini Anda adalah direktur baru yang ditunjuk setelah proyek kapal pesiar yang sudah berjalan dan menghabiskan 40% dana. Ketika melihat data dan hasil analisis, Anda sadar bahwa proyek ini sulit bersaing dan kemungkinan besar akan gagal. Menariknya, dalam posisi ini, mayoritas orang justru memilih untuk menghentikan proyek. Mengapa? Karena Anda tidak memiliki keterikatan emosional terhadap keputusan sebelumnya—Anda bisa berpikir lebih rasional dan objektif. Contoh serupa juga bisa kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, Anda membeli makanan mahal, tapi rasanya tidak enak. Namun karena sudah membayar mahal, Anda tetap memakannya meski tidak menikmati. Atau dalam dunia investasi, Anda mempertahankan saham yang terus merugi hanya karena merasa sudah menghabiskan waktu dan energi untuk menganalisisnya. Bahkan dalam hubungan pribadi, seseorang bisa bertahan dengan pasangan yang menyakiti hanya karena merasa “sudah terlalu lama bersama.” Sunk Cost Fallacy bisa dibilang sebagai bentuk “bucin” dalam dunia finansial. Kita tidak mengambil keputusan berdasarkan logika, tapi karena takut merasa rugi secara emosional. Padahal, mempertahankan keputusan yang salah justru bisa memperbesar kerugian, baik secara materi maupun psikologis. Untuk menghindari jebakan ini, penting untuk selalu menilai sesuatu dari kondisi saat ini dan prospek ke depan, bukan berdasarkan apa yang telah kita keluarkan di masa lalu. Jangan ragu untuk cut loss jika memang diperlukan. Ingatlah bahwa pasar tidak peduli seberapa besar usaha dan modal yang telah Anda keluarkan. Kesimpulannya, Sunk Cost Fallacy adalah bias yang sangat umum namun berbahaya, terutama dalam dunia trading dan investasi. Semakin cepat kita menyadarinya, semakin besar peluang kita untuk membuat keputusan yang lebih sehat, rasional, dan menguntungkan, baik dalam keuangan maupun dalam hidup secara keseluruhan.

Artikel, Investasi, Saham

Anchoring Effect dalam Investasi Saham: Ketika Angka Pertama Menentukan Segalanya

Pernahkah kamu melihat sebuah iklan di marketplace yang mengklaim bahwa harga asli sebuah produk adalah Rp300.000, namun sedang diskon 70% hingga tinggal Rp70.000? Sekilas, angka ini terdengar sangat menggiurkan. Banyak orang langsung berpikir, “Wah, murah banget!”—semata-mata karena mereka membandingkan harga diskon dengan angka awal yang ditampilkan, yaitu Rp300.000. Namun, mari kita pikir ulang. Apakah benar harga asli produk itu memang Rp300.000? Bisa jadi tidak. Mungkin saja nilai riilnya sejak awal memang hanya sekitar Rp70.000 atau bahkan lebih murah. Harga awal yang ditampilkan hanya berfungsi sebagai “jangkar” atau anchor untuk memengaruhi persepsi kita terhadap nilai dan diskon. Baca juga : https://investhink.id/kenapa-psikologi-penting-dalam-keputusan-investasi/ Inilah yang disebut dengan anchoring effect dalam psikologi. Fenomena ini terjadi ketika seseorang terlalu terpaku pada informasi pertama yang diterimanya—dalam kasus ini, harga Rp300.000—dan menggunakan angka itu sebagai tolak ukur dalam mengambil keputusan, walaupun informasi tersebut belum tentu akurat. Anchoring effect terjadi ketika seseorang menetapkan suatu angka awal sebagai “jangkar” dan menjadikannya dasar dalam menilai situasi, meskipun informasi tersebut mungkin sudah tidak relevan. Dalam konteks saham, angka jangkar bisa berupa harga beli awal, harga tertinggi sepanjang masa, atau target harga dari analis. Akibatnya, keputusan investasi sering kali tidak lagi logis, melainkan emosional. Contohnya, seorang investor membeli saham di harga Rp5.000 dan saat ini harga turun ke Rp3.500. Alih-alih mengevaluasi ulang kondisi perusahaan, ia enggan menjual karena masih berharap harga kembali ke Rp5.000. Harga beli awal menjadi jangkar yang menghambat pengambilan keputusan yang seharusnya berdasarkan kondisi terbaru. Contoh lain, ketika sebuah saham pernah menyentuh Rp10.000, investor cenderung menganggap harga saat ini yang Rp7.000 adalah murah, tanpa mempertimbangkan alasan mengapa harga turun. Efek jangkar juga sering muncul saat investor terlalu percaya pada rekomendasi analis yang menyebutkan target harga tertentu. Meskipun situasi pasar dan kondisi perusahaan telah berubah, angka yang disebut analis tetap melekat kuat di benak investor sebagai acuan utama, padahal seharusnya target itu bersifat fleksibel dan dinamis. Bahaya dari anchoring effect adalah ia bisa menimbulkan bias yang membuat investor tidak objektif. Investor bisa terjebak dalam penyesalan karena enggan cut loss, atau menolak peluang lain karena masih berharap saham tertentu kembali ke harga jangkar. Akhirnya, hal ini bisa mengganggu performa portofolio secara keseluruhan. Untuk menghindari jebakan ini, penting bagi investor untuk terus memperbarui informasi dan mengevaluasi kondisi saham secara menyeluruh. Gunakan rencana investasi yang matang, bukan sekadar berdasarkan angka historis. Diversifikasi portofolio juga bisa membantu meredam ketergantungan emosional terhadap satu saham. Dan yang paling penting, tingkatkan kesadaran diri bahwa bias seperti anchoring adalah hal yang sangat manusiawi—dan bisa diatasi dengan latihan dan kedisiplinan.

Investasi, Saham

Pasar Sedang Bullish tapi Portofoliomu Malah Bearish

Pasar sedang naik, banyak orang cerita soal cuan, portofolio mereka hijau semua, bahkan ada yang untung besar dalam waktu singkat. Tapi saat kamu buka portofoliomu sendiri, malah merah. Padahal kondisi pasar katanya lagi “bullish”. Lalu muncul pertanyaan yang bikin penasaran — kenapa portofolioku malah turun, ada yang salah nggak ya? Salah satu penyebab utamanya bisa jadi karena kamu salah memilih aset. Banyak orang membeli saham atau koin kripto hanya karena sedang tren di media sosial atau karena takut ketinggalan momen (FOMO), tanpa benar-benar tahu isi dan potensi aset tersebut. Akibatnya, ketika pasar secara umum naik, aset yang kamu pegang justru jalan di tempat atau malah turun karena tidak sekuat yang dipikirkan. Baca juga : https://investhink.id/ekspektasi-adalah-kunci-dalam-investasi-saham/ Selain itu, bisa jadi portofoliomu kurang seimbang alias tidak terdiversifikasi dengan baik. Misalnya, semua danamu hanya kamu taruh di satu sektor saja, seperti teknologi atau aset kripto. Padahal, dalam pasar yang bullish pun tidak semua sektor ikut naik bersamaan. Bisa jadi sektor lain justru sedang terkoreksi. Kalau semua telur kamu taruh di satu keranjang dan keranjang itu jatuh, ya semuanya ikut hancur. Hal lain yang sering terjadi adalah salah waktu masuk. Meskipun pasar sedang naik, kalau kamu membeli di harga puncak lalu pasar sedikit koreksi, maka posisimu langsung rugi. Banyak orang yang terburu-buru beli karena takut ketinggalan tren, padahal belum tentu itu momen yang tepat. Di saat seperti ini, strategi beli bertahap atau analisis teknikal dasar sangat membantu. Kesalahan lainnya adalah tidak rajin mengevaluasi isi portofolio. Pasar terus berubah, tapi banyak investor tidak menyesuaikan aset yang mereka pegang. Mungkin dulu aset itu bagus, tapi sekarang sudah tidak relevan lagi. Kalau kamu biarkan begitu saja tanpa dicek, lama-lama portofoliomu akan tertinggal dibanding pasar. Terakhir, bisa jadi kamu mengira sudah punya portofolio yang beragam, padahal sebenarnya aset-asetmu punya pergerakan yang mirip. Misalnya, kamu punya lima saham, tapi semuanya dari sektor yang sama dan sangat terpengaruh oleh faktor makro yang sama. Saat satu turun, yang lain juga ikut jatuh. Jadi, penting untuk memahami hubungan (korelasi) antar aset supaya satu aset tidak menyeret semuanya ketika pasar berubah. Kesimpulannya, meskipun pasar sedang naik, bukan berarti semua orang otomatis untung. Kalau portofoliomu masih merah, mungkin saatnya untuk mengevaluasi strategi. Mulailah dari memahami apa yang kamu beli, pastikan asetmu tidak semua di tempat yang sama, dan rajinlah melakukan review secara berkala. Karena dalam investasi, bukan soal siapa yang mulai duluan, tapi siapa yang siap dan paham arah tujuannya.

Artikel, Psikologi, Saham

Ekspektasi Adalah Kunci dalam Investasi Saham

Menjadi trader berarti anda berpotensi mengalami sebuah kerugian dan pengambilan keputusan yang salah. Kedua pengalaman ini tidak akan terhindarkan, tidak peduli seberapa pintar kita atau seberapa hebat analisis kita pasti semua akan mengalaminya. Tidak ada apa pun di pasar yang akan mencegah kita mengalami kerugian. Pasar terlalu acak dan penuh dengan ketidakpastian untuk diprediksi. Ada terlalu banyak variabel yang harus dipertimbangkan yang dapat mempengaruhi pasar. Kerugian dalam trading bukan sekadar hilangnya uang, melainkan benturan antara kenyataan dan ekspektasi. Banyak trader merasa terpukul saat rugi bukan karena nominalnya, tetapi karena pasar tidak berjalan sesuai harapan mereka. Ekspektasi ini sering kali terbentuk dari keyakinan bahwa analisis mereka pasti benar, dan pasar seharusnya mengikuti prediksi tersebut. Padahal, pasar bergerak bebas, tanpa peduli pada harapan siapa pun. Baca juga : https://investhink.id/kenapa-psikologi-penting-dalam-keputusan-investasi/ Ambil contoh dua trader fiktif: Rama dan Dian. Rama adalah trader berpengalaman yang tahu bahwa kerugian adalah bagian dari permainan. Ia selalu mengantisipasi kemungkinan rugi sebelum masuk posisi, sehingga ketika itu terjadi, ia tidak panik dan bisa langsung fokus ke peluang berikutnya. Sebaliknya, Dian adalah pemula yang percaya bahwa setiap posisi yang ia ambil pasti untung. Ketika mengalami kerugian, ia kecewa, marah, bahkan menyalahkan pasar. Ekspektasi yang tidak realistis seperti yang dimiliki Dian membuat kerugian terasa menyakitkan. Ini seperti anak kecil yang dijanjikan mainan, tapi kemudian tidak jadi dibelikan—kekecewaannya besar karena terlalu berharap. Dalam trading, semakin besar ekspektasi yang tidak dibarengi dengan kesiapan mental, semakin besar pula rasa frustrasi saat hasil tidak sesuai harapan. Itulah mengapa menjaga ekspektasi adalah kunci utama. Trader berpengalaman seperti Rama paham bahwa kerugian adalah hal yang wajar, dan tidak menjadikannya alasan untuk menyalahkan pasar. Mereka bertanggung jawab atas keputusan mereka sendiri, terus belajar dari kesalahan, dan tetap tenang menghadapi ketidakpastian. Di sinilah letak perbedaan antara trader pemula dan trader profesional: satu terjebak dalam ekspektasi, satu lagi tumbuh lewat penerimaan.

Artikel, Investasi, Saham

Kenapa Psikologi Penting dalam Keputusan Investasi?

Saat orang mulai belajar investasi, mereka sering berpikir bahwa yang paling penting adalah tahu cara membaca grafik, menghitung untung-rugi, atau memilih saham yang tepat. Padahal, kenyataannya banyak keputusan investasi yang dipengaruhi oleh emosi. Misalnya, ketika harga saham naik terus, orang jadi serakah dan ingin ikut-ikutan beli. Sebaliknya, saat harga turun tajam, banyak yang panik dan buru-buru jual, padahal mungkin itu bukan keputusan terbaik. Dalam dunia psikologi, ada yang disebut bias pikiran. Ini adalah kesalahan pola pikir yang tanpa sadar kita lakukan. Contohnya, kita hanya mencari berita atau pendapat yang mendukung apa yang sudah kita yakini (bias konfirmasi). Atau kita terlalu percaya diri dengan analisis kita sendiri, sehingga mengambil keputusan berani tanpa pikir panjang. Hal-hal seperti ini bisa membuat kita rugi dalam investasi. Baca juga : https://investhink.id/kenapa-8-dari-10-trader-saham-gagal-di-tahun-pertamanya/ Psikologi juga penting karena bisa membantu kita mengelola risiko. Tidak semua orang punya toleransi risiko yang sama. Ada yang bisa tenang saat harga saham turun, tapi ada juga yang langsung panik. Kalau kita tahu batas kemampuan mental kita, kita bisa lebih bijak dalam memilih jenis investasi dan tidak mudah terpengaruh saat pasar sedang goyah. Selain itu, banyak orang gagal dalam investasi bukan karena kurang pintar, tapi karena tidak disiplin. Misalnya, sudah punya rencana beli saat harga turun, tapi karena takut, jadi batal. Atau sudah niat jual saat harga naik, tapi karena serakah, malah terus ditahan dan akhirnya turun lagi. Di sinilah peran psikologi: membantu kita tetap tenang dan konsisten sesuai rencana awal. Dalam jangka panjang, investor yang sukses bukan yang paling jago analisis, tapi yang bisa mengontrol dirinya sendiri. Bisa tetap tenang saat pasar turun, tidak ikut-ikutan saat orang lain panik, dan tidak mudah terbawa emosi saat melihat peluang keuntungan besar. Semakin kita mengenal diri sendiri, semakin bijak juga kita mengambil keputusan investasi. Jadi, kalau kamu ingin jadi investor yang lebih baik, jangan cuma belajar tentang grafik atau laporan keuangan. Pahami juga bagaimana emosi dan pikiranmu bekerja. Karena pada akhirnya, keputusan terbaik dalam investasi datang dari kepala yang dingin, bukan dari perasaan yang terburu-buru.

Scroll to Top