Pernahkah kamu melihat sebuah iklan di marketplace yang mengklaim bahwa harga asli sebuah produk adalah Rp300.000, namun sedang diskon 70% hingga tinggal Rp70.000? Sekilas, angka ini terdengar sangat menggiurkan. Banyak orang langsung berpikir, “Wah, murah banget!”—semata-mata karena mereka membandingkan harga diskon dengan angka awal yang ditampilkan, yaitu Rp300.000.
Namun, mari kita pikir ulang. Apakah benar harga asli produk itu memang Rp300.000? Bisa jadi tidak. Mungkin saja nilai riilnya sejak awal memang hanya sekitar Rp70.000 atau bahkan lebih murah. Harga awal yang ditampilkan hanya berfungsi sebagai “jangkar” atau anchor untuk memengaruhi persepsi kita terhadap nilai dan diskon.
Baca juga : https://investhink.id/kenapa-psikologi-penting-dalam-keputusan-investasi/
Inilah yang disebut dengan anchoring effect dalam psikologi. Fenomena ini terjadi ketika seseorang terlalu terpaku pada informasi pertama yang diterimanya—dalam kasus ini, harga Rp300.000—dan menggunakan angka itu sebagai tolak ukur dalam mengambil keputusan, walaupun informasi tersebut belum tentu akurat.

Anchoring effect terjadi ketika seseorang menetapkan suatu angka awal sebagai “jangkar” dan menjadikannya dasar dalam menilai situasi, meskipun informasi tersebut mungkin sudah tidak relevan. Dalam konteks saham, angka jangkar bisa berupa harga beli awal, harga tertinggi sepanjang masa, atau target harga dari analis. Akibatnya, keputusan investasi sering kali tidak lagi logis, melainkan emosional.
Contohnya, seorang investor membeli saham di harga Rp5.000 dan saat ini harga turun ke Rp3.500. Alih-alih mengevaluasi ulang kondisi perusahaan, ia enggan menjual karena masih berharap harga kembali ke Rp5.000. Harga beli awal menjadi jangkar yang menghambat pengambilan keputusan yang seharusnya berdasarkan kondisi terbaru. Contoh lain, ketika sebuah saham pernah menyentuh Rp10.000, investor cenderung menganggap harga saat ini yang Rp7.000 adalah murah, tanpa mempertimbangkan alasan mengapa harga turun.
Efek jangkar juga sering muncul saat investor terlalu percaya pada rekomendasi analis yang menyebutkan target harga tertentu. Meskipun situasi pasar dan kondisi perusahaan telah berubah, angka yang disebut analis tetap melekat kuat di benak investor sebagai acuan utama, padahal seharusnya target itu bersifat fleksibel dan dinamis.
Bahaya dari anchoring effect adalah ia bisa menimbulkan bias yang membuat investor tidak objektif. Investor bisa terjebak dalam penyesalan karena enggan cut loss, atau menolak peluang lain karena masih berharap saham tertentu kembali ke harga jangkar. Akhirnya, hal ini bisa mengganggu performa portofolio secara keseluruhan.
Untuk menghindari jebakan ini, penting bagi investor untuk terus memperbarui informasi dan mengevaluasi kondisi saham secara menyeluruh. Gunakan rencana investasi yang matang, bukan sekadar berdasarkan angka historis. Diversifikasi portofolio juga bisa membantu meredam ketergantungan emosional terhadap satu saham. Dan yang paling penting, tingkatkan kesadaran diri bahwa bias seperti anchoring adalah hal yang sangat manusiawi—dan bisa diatasi dengan latihan dan kedisiplinan.